XXXVII: Auxilium Heart

512 70 9
                                    

"Lice, bangunlah."

Jean pikir hanya dengan berkata demikian sepenuh hatinya akan membuat gadis itu terbangun dari tidurnya. Tapi kenyataannya tidak semudah itu. Gadis yang tengah terlelap itu malah mengeluarkan dengkuran.

Demi apapun, Jean kehabisan akal mengingat dirinya belum pernah membangunkan seorang gadis sekali pun. Entahlah. Ia benar-benar bingung.

"Jean, kalau nanti aku menangis saat bertemu orang itu, jangan tertawa ya!"

Jean langsung melirik ketika suara Alice terdengar. Great, ia tengah melindur sekarang. Dan apa katanya tadi? Menangis? Tertawa? Jean tak mengerti kenapa Alice berpikir demikian mengingat hal tersebut tidak patut ditertawakan.

"Lice...," panggil Jean ragu. Entah kenapa ia berpikir kalau Alice akan membalasnya.

Tak membalas, Alice bergerak menendang selimutnya. Baru kemudian bersuara, "Ah ya, jangan bilang aku suka melawan nenek sihir itu, ya. Nanti kalau mereka bertengkar pasti berisik."

Jean tertegun. Ia baru menyadarikalau ternyata Alice benar-benar merindukan ibunya. Gadis itu benar-benar kesepian. Padahal sebelumnya, Jean hanya berpikir ini rindu biasa, tapi bagi Alice mungkin luar biasa. Sudah bertahun-tahun ia menahannya.

"Aku tak akan bilang," gumam Jean sambil mengulas senyumnya.

"Kau janji?"

Balasan Alice membuat Jean mundur selangkah. Telinganya ternyata cukup peka juga. Di luar dugaan atau memang suara Jean yang terlalu keras?

"Tapi, Lice. Kau harus segera bangun atau kita akan terlambat." Jean keceplosan. Lagi pula, Alice tak mungkin bangun hanya karena ucapan asalnya, ia juga hanya melindur sejak tadi. Mustahil kalau....

Alice tiba-tiba terbangun dari posisinya. Terduduk dengan mata terpejam, mulut menguap, serta tangan yang menggosok-gosok matanya.

Jean tak dapat mengalihkan pandangannya karena sedikit kaget. Terlebih Alice kini menatapnya setengah sadar. Matanya masih terbuka dan berkedip bingung berulang-ulang.

Kemudian berkata, "Selamat pagi―" Alice melirik ke arah jam kayu di dinding. Jarum pendek mengarah pada angka tujuh dan jarum panjangnya mengarah pada angka satu. "Sial, kenapa kau baru membangunkanku, Jean? Kaulihat jam berapa sekarang ini?"

Alice segera bangun dari tempat tidurnya. Merapikan kasur yang tampaknya amat berantakan itu kemudian―menatap Jean tajam.

Lantas ia berkata, "Kalau ada satu hal yang bisa kaulakukan saat ini. Maka cepat keluar karena aku membutuhkan ruangan ini sendiri."

Jean mengerjap cepat dan baru menyadari arti di balik perintah gadis itu. Great, lagi-lagi ia terjebak dalam situasi yang amat menyebalkan ini.

"Jean, kau bisa dengar ucapanku, bukan?" Alice mendorong punggung cowok itu ke luar ruangan sebelum akhirnya meninggalkan Jean yang mematung di depan pintu. Ah, tak lupa ia menutup tirai yang ada pada celah pintu.

Dan omong-omong, Alice baru menyadari sesuatu. Entah perasaannya saja atau tidak, hatinya terasa lebih ringan. Rasa cemasnya beberapa waktu lalu seketika lenyap saat ia bangun tidur tadi.

Diam-diam gadis itu tersenyum.

***

Cahaya matahari yang buram menyorot lembut ke berbagai penjuru. Sesekali, kepingan salju terjatuh ke atas tanah kemudian mencair. Ya, Alice dan Jean sudah berada di luar Diffr dan cuaca di sini berbanding terbalik dengan tempat yang sebelumnya mereka datangi.

Perlahan-lahan, langkah kaki kuda yang mereka tunggangi kian cepat. Sesekali mereka merapatkan mantel mereka agar salju tak membuat pakaian mereka basah. Sudah hampir setengah perjalanan berdasarkan rute yang telah dibuat oleh Naito. Namun, mereka belum menemukan tanda-tanda yang telah disebutkan.

Padahal, sudah lebih dari setengah jam sejak mereka berada di jalur yang sama dengan Kota Hyonna. Memang tempatnya tak jauh dari kota tersebut. Hanya saja mereka harus mengambil jalan ke arah timur laut, sementara kota Hyonna mengarah ke utara.

"Jean, kita tidak salah, bukan? Saljunya semakin deras di sini," ucap Alice sambil menoleh ke kanan—ke arah Jean.

Sementara Jean yang sebelumnya fokus ke arah depan langsung menoleh ke arah Alice. Ia pikir tak ada yang salah dari jalur yang mereka ambil. Lagi pula, saat mereka lewat tadi ada arah mata anginyang tertulis di papan penanda jalan. Ditambah...

"Kupikir sudah benar, Lice," balas Jean setengah berteriak karena angin tanpa sadar bertiup semakin kencang. Cuacanya benar-benar tak bisa diprediksi, padah masih sepagi ini.

Firasat cemas yang sebelumnya menghilang dalam diri Alice perlahan goyah. Jujur saja, ia tak terlalu suka saat ada angin kencang di musim dingin. Mereka berputar perlahan-lahan dan tanpa sadar menyapu dan menimbun segala yang dilewatinya.

"Lice, kau mendengarkanku?" Jean melnangkap Alice tengah melamun seraya menunggangi kuda sampai....

Deg

Jean menyadari sesuatu dan dengan cepat ia memacu kudanya hingga....

Ngiiiiiik

Ringkikkan kencang terdengar dan menyadarkan Alice dari lamunannya. Tanpa ia sadari, Jean sudah ada di hadapannya dalam posisi terjatuh dan kudanya menghilang. Dan Alice baru menyadari apa yang ada di hadapannya.

Sebuah jurang, baru saja menelan kuda yang dinaiki Jean.

Setengah sadar dengan apa yang dilihatnya, Alice bergegas turun menghampiri Jean yang tengah mengatur napas dan detak jantungnya. Maksudnya, ia—bahkan mereka—hampir saja masuk ke dalam jurang yang begitu dalam dan punya kemungkinan hampir saja gagal dalam misi egois mereka.

"Jean..," panggil Alice.

Semuanya terjadi begitu cepat. Alice bahkan tak tahu harus bereaksi apa saat ini. Sementara Jean tampaknya tengah menahan rasa sakit pada tangan kanannya yang sebelumnya terjerembab terlebih dahulu ke darat.

Saat Alice mencoba menyentuh lengan Jean, cowok itu segera menoleh. Ah, ia paling tidak suka kalau sudah melihat tatapan Alice yang seperti ini. Pasti sesaat lagi ia akan—tidak—Jean harus mencegah Alice melakukan hal itu.

Jean menghela napasnya. Meski jantungnya masih saja berdegup kencang karena kaget, tapi ia harus membuat Alice tenang terlebih dahulu.

Dan, baru saja Alice membuka mulut dan hendak berbicara, Jean langsung memotongnya, "Dari pada kau menghabiskan waktumu untuk mengkhawatirkan lukaku atau menyalahkan diri sendiri. Lebih baik kau bantu aku bangun dan beri aku salah satu ramuan yang kau sembunyikan di kantung bajumu."

Rasa cemas Alice perlahan terangkat, terlebih saat ia baru menyadari kalau Jean bisa berkata hal seperti itu, panjang pula. Ia jadi ragu kalau ia sedang bersama—

"Aku tahu apa yang kaupikirkan, Lice," potong Jean pada pemikiran gadis itu.

Alice menusukkan pandangannya sok dingin. Baru kemudian terkekeh sesat, "Kautahu? Kau menyebalkan Jean!"

"Dan kalau dipikir-pikir, ini sama seperti Jean yang datang ke dimensi tiga waktu itu, bukan?"

Alice tertegun. Ia baru menyadari hal yang selama ini telah berubah. Iya, Jean entah kenapa lebih banyak diam akhir-akhir ini dibanding dimensi tiga beberapa waktu lalu. Tepatnya saat Keith ulai mendekatinya beberapa bulan lalu. Tapi saat ini, Alice baru ingat kembali, kalau Jean yang ia kenal begitu hangat dan ... menyebalkan seperti ini.

"Ya," jawab Alice singkat. "Kau menyebalkan, Jean."

"Aku anggap itu pujian, Lice."

"Nah, itu juga tujuan—"

Srek... srek...

Tiba-tiba, suara gemeresik dari balik semak-semak yang tertimbun salju. Membuat percakapan Alice dan Jean terhenti seketika, sebelum akhirnya seseorang berkata....

"Sudah lama tidak jumpa ya...."

***

Bogor, 31 Oktober 2018

Sudah lama tidak jumpa ya? Ah, aku rindu kalian dan semua ini. Doakan agar bisa secepatnya kembali lagi. Semoga suka! See you~

Regards

Nari

2.5 Dimension [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang