XXXIII : The Dream of Darkness

600 89 19
                                    

Brak!

Tanpa sadar tangan Jean membanting pintu begitu iris keunguannya bertumbuk dengan iris hijau terang di dalam ruangan itu. Dan ... apa yang baru saja didengarnya, membuat kakinya seakan bergerak sendiri, ia ingin berlari dari tempat itu, dan entah kenapa ia terus mengikuti keinginan egois sang kaki, tanpa menunggu penjelasan lebih.

Ia hanya ingin berlari. Lari sejauh-jauhnya dan mengeyahkan segala pertanyaan yang kini menghujam otaknya. Rasanya menyakitkan, sampai-sampai air matanya mendesak keluar, tubuhnya jadi tidak seimbang, kemudian―

"A―aduh!"

Jean menabrak sesuatu, lebih tepatnya menabrak seseorang yang kini tengah meringis di hadapannya. Itu Alice.

"Kau ini apa-apaan, sih?!" Alice mulai menggerutu, seperti biasanya. Namun Jean hanya terdiam karena tak terlintas jawaban apapun di pikirannya. "Hei!"

Jean mengerjap sesaat, ah, ia melamun.

"Kau kenapa sih?!" Lagi, Alice berkata dengan nada kasarnya, mungkin lebih tepat kalau disebut kesal. Ya, kenyataannya ia teramat kesal karena tak kunjung mendapat jawaban.

Sementara Jean masih tak bereaksi. Bibirnya hampir mengatakan sepatah kata, namun ia urungkan. Alice sadar, ada yang sedikit atau bahkan sangat banyak kesalahan di sini. Masalahnya, ini Jean. Tak biasa bukan manusia sepintar dia jadi seperti ini kalau bukan masalah besar.

"Maaf." Pada akhirnya hanya itu yang terucap.

Alice mengerutkan dahinya, hei, maksudnya―"Kukatakan sekali lagi, Kau kenapa, sih?"

Jean hanya bangun dari jatuhnya, kemudian mengulurkan tangannya pada Alice sebelum akhirnya menarik tangan gadis itu. Lalu kembali berlari meninggalkan gadis itu kebingungan.

Dan di sini ... Alice merasakan bahwa ada yang salah juga pada dirinya. Kenapa ia tak menghentikan Jean? Tak lama kemudian, terdengar teriakan memanggil nama Jean dari lorong arah cowok itu berlari tadi.

"Jean!" Itu Keith.

Alice semakin kebingungan, tampaknya ia benar-benar salah telah membiarkan Jean pergi. Ia tak tahu kenapa, tapi ... rasanya ini kesalahan yang amatlah besar.

"Jean, Lice!" kata Keith yang masih terengah begitu sampai di hadapan Alice. "Bahaya kalau sampai Jean kabur."

Tunggu. Hei. Apa maksud dari ucapan Keith barusan?

Kabur.... "Jangan bercanda!"

"Cepat, kejar dia."

Dan di sini Alice merutuki, kenapa Keith harus berhenti dan mengajaknya berbicara sementara Jean berlari dan hendak kabur.

Lagi pula....

Apa penyebabnya?

***

Jean menyandarkan tubuhnya di tembok―kamarnya. Kemudian tubuhnya merosot ke bawah. Tertunduk, dan perlahan menenggelamkan kepalanya dalam dekapan lutut.

Sebelumnya, ia berniat kabur sejauh-jauhnya dari tempat ini. Namun, Jean tahu kalau ia tak bisa pergi begitu saja dari tempat ini. Karena, meskipun tempat ini bukan tempat yang seharusnya, tapi yang ia tahu, seluk-beluk tempat ini telah menjadi bagian dari dirinya. Ia tak akan memaafkan dirinya yang kabur begitu saja, ia bahkan belum memberikan apapun pada tempat ini. Pada dimensi ini.

Meskipun ia tahu, ia tak punya hak sedikit pun setelah tahu kenyataannya.

"Ayah," gumam Jean, "Apa yang membuatmu mempertahankan keberadaanku di tempat ini?"

Ingatannya benar-benar buram sekarang, rasanya ingin sekali mengingat hal-hal yang murni terjadi dalam hidupnya. Tanpa adanya efek dari kapsul memori. Namun, sisi lain dari dirinya bertanya-tanya.

Apakah semua akan tetap sama, ketika ingatannya berubah?

Jean tak tahu apa yang akan terjadi. Hanya saja, semua hal yang telah terjadi selama ini, meskipun dimulai dengan sesuatu yang tidaklah nyata, ke depannya ... tetap seperti itu, bukan?

Bahkan meski seisi dunia ini memiliki alternatif masa depan. Jalan hidupnya di dunia ini tetap seperti itu. Tak ada yang berubah. Juga...

Deg

" ... terima kasih atas keberadaanmu, terima kasih telah berada di sini."

***

Sementara di sisi lain, sesosok wanita dengan jubah hitamnya menatap kosong perapian yang ada di hadapannya. Satu-satunya sumber cahaya yang ada di tempatnya sekarang. Ah, kalau dipikir-pikir, ia berbohong kalau tempat ini akan selalu dipenuhi kegelapan.


Dan kalau ingat hal itu, katanya, tempat terbaik itu adalah tempat di mana cahaya bersinar, bukan? Sementara kegelapan yang telah sirna itu adalah hal yang buruk. Ya, pada kenyataannya hal itulah yang dipercayai orang-orang.

Namun, tak ada yang tahu, bukan? Bahwa sebenarnya, dalam kegelapan sekalipun masih terdapat sebuah harapan dan impian. Berharap dan bermimpi agar semuanya menjadi terang. Sama seperti yang ada di tempat ini. Kalau begitu, apa tempat penuh cahaya memiliki impian? Merebut segala cahaya yang ada sehingga meninggalkan kegelapan di sudut yang lain? Kenyataannya cahaya lebih egois dibanding apapun.

Tapi ... tetap saja ia dibutuhkan. Cahaya masih dibutuhkan. Setidaknya....

"Sebentar lagi, Alice kecilku," katanya sambil mengusap sesosok gadis kecil yang tubuhnya terlihat transparan. "Kita akan bersama-sama untuk selamanya."

"Ki―ta?" Suara bocah kecil itu terdengar terbata. Tak lama tawa kecilnya keluar. "Aku ingin main ke tempat itu lagi."

Gadis itu menunjuk ke arah jendela yang terlihay kusam di pojok ruangan. Seolah tahu kalau itu menjadi jalan keluar lain.

"Belum waktunya," kata wanita dengan jubah hitam itu. Rambutnya yang menjuntai ditarik oleh bocah kecil beriris cokelat itu. Kemudian putus dari akarnya. "Anak mama tidak boleh nakal, ya!"

Gadis itu terkekeh. Senyumnya amat manis tanpa dosa. Dan di tempat yang penuh kegelapan seperti ini pun, cahaya di balik bola matanya tetap mengkilat. Amat indah. Membuat mata wanita itu terasa panas karenanya.

"Sekarang waktunya tidur," kata wanita itu sambil mengusap lembut rambut kecokelatan itu. "Kau habis main terlalu jauh kan? Karenanya...."

"Alice ingin tempat terang, Ma," kata gadis kecil itu, "Alice tak―"

Senyuman kecil membuat gadis itu berhenti bicara. Kemudian, sebuah lagu mulai terlantun dalam ruang tersebut. Lagu pengantar tidur yang entah kenapa terdengar menyedihkan.

The Shadow and Light
I'm here for your reborn
Let's sing this song
A beautiful song

I want to sleeping
Mama say good night to me
Like a softly piano
Bring me a nice dream

Like a light and shadow
Please don't forget this song
Bring me a nice dream
And let's close the eyes

Don't say good bye.

Dan dengan berakhirnya lagu itu, gadis kecil itu terlelap.

Sebentar lagi, Lice....

***

Bogor, 23 Mei 2018
05:07 WIB
In the little morning

Hei, hei, kukembali. Selamat pagi, lol, tumben sekali up jam segini, ya? Dan kuharap kalian suka dengan apa yang kutuliskan hari ini. Jaa~

Regards

Nari(*>_<*)ノ

2.5 Dimension [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang