XIII : Risus

1.4K 175 6
                                    

Dalam kegelapan malam yang seolah tak pernah berhenti. Sepi dan sunyi selalu menjadi nada pengiring tempat ini. Ah, harmoni yang paling menyedihkan, bukan?

Sosok dengan pandangan tajam itu membungkuk sambil menundukan wajahnya dalam-dalam. Padahal, sosok yang ada di hadapannya tak akan berbalik ke belakang dan menatap pemuda itu. Untuk apa? Itu tak berguna baginya―mungkin.

"Kau sudah menemukannya, bukan?" Suara dingin itu memecah keheningan. Menggema ke seluruh ruangan pertanda tempat ini tak bisa diragukan lagi sepinya.

"Sudah, Tuan," balas pemuda itu.

"Lalu, apa yang kau tunggu?" Sosok di balik kursi itu kembali bertanya.

"Sebentar lagi, Tuan." Pemuda itu kembali membalas. "Kupastikan mereka kalah di serangan musim dingin nanti."

Sret

Pemuda itu kini menyadari sesuatu. Kursi itu ... untuk pertama kalinya berputar. Dan sosok itu kini tengah memandangnya. Membuatnya tak berani mendongak. Hanya saja, ia dapat melihat rambut pirang yang menjuntai sampai ke lantai―sekalipun tertutup kegelapan.

Sampai, sebuah tangan yang terasa sangat halus kini menyentuh dagunya. Kemudian mengangkatnya begitu saja. Seketika itu iris hijaunya terbuka lebar.

Sosok itu....

"Kuharap kau tidak menarik ucapanmu ...,"―ia mengulas senyumnya sejenak―"Keizu Halfdimns." Itu kata terakhirnya sebelum ia melepaskan tangannya dan memutar kursi itu kembali.

Sementara pemuda yang ada di belakang kursi itu. Masih mempertahankan ekspresi kagetnya. Karena ... untuk pertama
kalinya ia kembali melihat sosok itu. Dan ia yang pertama kali melihatnya.

Walau kau yakin kalau semua orang pernah melihatnya.

***

"Izu-chan," panggil seorang pria berambut pirang acak-acakan. Cukup keren kalau dilihat. Namun suara dan cara bicaranya terdengar mirip perempuan. "Santai saja~"

Si pria yang dipanggil Izu menoleh. Kemudian melemparkan pandangan tajam ke pria itu. Di sisi lain, pria itu bukannya takut. Melainkan terkekeh kemudian memakan apel yang ada dalam genggamannya.

"Aku benci sosok kau yang seperti ini," kata Izu sarkas.

Si pirang kembali terkekeh. "Kalau mau jujur, aku lebih benci sosokku yang satu lagi."

Izu menahan senyumnya diam-diam. Namun tetap mempertahankan pandangan tajam dari matanya. Seolah wajah itulah yang selalu ia jadikan andalan dan kenyataannya memang seperti itu.

"Aneh," katanya―yang sebenarnya―memancing si pirang untuk melanjutkan ocehannya. Ia terlalu gengsi untuk bertanya. Ugh, tsundere-kun.

"Sebenarnya bukan benci karena bentukku. Aku bahkan lebih manis saat menjadi sosok itu," kata si pirang membanggakan diri.

"Menjijikan," tukas Izu cepat.

"Kau tak ingin tahu alasanku?" Si pirang bertanya sambil menunjukkan deretan giginya yang rapi.

"Tak berguna."

"Ayolah harusnya kau sadar kalau aku harus berjalan menopang singa yang bahkan bisa berlari lebih cepat dari―"

"Kau menyindirku ..., Kuda nakal?" potong Izu yang langsung membuat kekehan―ketakutan―dari si pirang kembali terdengar.

"O―Ou-sama ... ka―kau tak bisa diajak bercanda, ya?" tanya si pirang ragu.

Sementara Izu mulai mendekatkan tubuhnya pada si pirang. Kali ini dengan tatapan yang lebih tajam lagi. Membuat si pirang menundukkan wajahnya dalam-dalam. Wajahnya memerah. Sampai suara gelak tawa terdengar begitu kencang.

2.5 Dimension [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang