Kafvin menatap Aruni yang saat ini memilih untuk membuang mukanya ke segala arah. Pemandangan itu mengusiknya dan membuat nada suaranya terdengar rendah penuh emosi. "Untuk memperbaiki keadaan." Kafvin menajamkan matanya.
Aruni tertawa miris, lalu kembali bersikap datar. "Memperbaiki keadaan? Apanya yang diperbaiki?" Ucapannya itu terkesan mengejek, namun Aruni berusaha untuk mengucapkannya dengan datar.
Kafvin menegakkan punggungnya lalu menatap Aruni dengan tatapan menusuk, Aruni mencoba untuk menghindari tatapannya.
"Kita, aku ingin memperbaiki kita berdua." Suara Kafvin berubah lembut, membuat Aruni tertegun dengan ucapannya. Gadis itu baru berani menatap Kafvin setelah perkataannya itu, dan tatapan itu. Tatapan seorang lelaki yang mendamba cintanya, tatapan yang berlumur luka tak kasat mata.
Aruni menatap Kafvin dalam-dalam, membaca raut wajah Kafvin bagai lukisan indah monalisa yang misterius. Jelas ada kesedihan di mata pria itu, namun hanya berselang beberapa detik terganti raut wajah yang sulit ditebak. Kafvin menyembunyikan dan menunjukkan isi hatinya, hanya supaya Aruni dapat menebak teka-teki itu.
"Kamu..." Aruni masih menatap lekat kedua mata Kafvin, sebelum rasa gugup menyergapinya ketika sadar wajahnya begitu dekat dan hampir menghapus jarak diantara mereka. Dan Aruni harus meringis menahan malu menatap sebagian besar penghuni kantin menatap ke arah mereka dengan sikap keponya. Mampus, rutuknya.
"Saya serius dengan ucapan saya. Kalau kamu benar-benar mau," suara Kafvin mendadak kaku. Dengan logat formal nya yang baru ia sadari, Kafvin berdiri tegak lalu ia melangkah menjauh membiarkan Aruni yang masih terdiam.
Aruni masih setia duduk dikursi kantin yang entah kenapa sekarang terasa lengket, melihat beberapa penghuni kantin menatapnya membuat Aruni merasa berat untuk pergi. Bukan karena ia suka diperhatikan, namun karena ia sedikit merasa malu, Aruni enggan untuk sekadar mengangkat kaki.
Tiba-tiba Aruni merasakan tangannya disentuh dengan sesuatu yang dingin. Aruni menatap cappuchino cincau favoritnya, lalu terperangah menatap siapa yang memberikannya minuman itu. Pria itu tersenyum tipis, nyaris tidak terlihat jika saja mata Aruni tidak sejeli ini.
"Untuk kamu, saya pamit." Ia berujar setengah berbisik, lalu melangkah lebar dengan tenang meninggalkan Aruni yang masih mencoba menetralkan hatinya. Capcin, semua orang juga bisa membelinya. Selain karna minuman itu murah, minuman itu juga mudah didapatkan.
Tapi, capcin ini lain. Capcin ini berasal dari seseorang yang lebih dingin dari capcin itu, dan yang terpenting capcin itu di bawa oleh tangan pria itu. Pria paling tidak terduga akan mampir di kehidupannya kali ini. Entah kenapa hanya karena segelas capcin, Aruni bisa seribet ini.
*
Aruni Pov
Aku masih berjalan dengan sadar, menjejaki lapangan dengan rumput segar yang menghubungkan asrama dan kampus. Riski masih bersemangat menceritakan pengalaman pertamanya dibimbing oleh guru dosen muda dan paling famous di kalangan mahasiswa karena gaya bicaranya yang tidak biasa. Pikiranku masih tertahan oleh manusia itu, jadi aku tidak terlalu mendengar jelas apa yang diceritakan Riski.
"Kamu dengar aku nggak sih?" Riski menghentak bahuku pelan namun mampu membuatku hampir meloncat. Gadis itu menatapku kesal dan aku segera sadar dengan kesalahan yang baru ku lakukan.
"Eh, maaf. Tadi bilang apa?"
Ku lihat Riski sedikit memajukan bibirnya, kekesalannya itu sudah biasa ku lihat di depan mata, meski kami baru berteman beberapa bulan, namun waktu itu cukup membuat kami saling mengenal satu sama lain. Gadis itu akan sedikit merajuk kalau aku tidak mendengarkan ocehan-ocehannya.