"Dah, Chandelier!" Chandelier dapat melihat Maurice melambaikan tangannnya. Jarak rumah mereka hanya 60 meter, jadi Chandelier dapat meilhat Maurice melangkah masuk ke rumahnya.
Chandelier tersenyum. Ia membuka pintu dan melepas sepatunya, kemudian menaruh sepatu bootnya di rak sepatu. Udara hangat dirasakannya di kala pintu tertutup, namun ia enggan melepas kaus kaki tebal yang masih melekat di kakinya. Ia berjalan di atas karpet berbulu segi empat di ruang tamunya. Karpet itu berwarna ungu muda dengan corak bunga lavender besar berwarna ungu tua di tengahnya. Di pinggir sisi kanan dan kirinya, dua sofa besar dengan kaki-kaki kayu berwarna krem menyambut Chandelier. Ia pun menaruh syal, kupluk rajut, dan jaketnya di gantungan di sudut ruangan.
Ia berjalan menuju ruang makan. Dilihatnya ibunya tersenyum melihatnya sambil mengeluarkan kalkun dari oven. Kalkun coklat keemasan itu mengeluarkan asap gurih yang menyentuh hidung Chandelier.
"Bagaimana sekolahmu?" Tanya Rosa Althabilene sembari melepas sarung tangannya.
"Baik." Wajah Chandelier datar dan menghembuskan napas pelan.
"Kenapa? Madame Anne membuatmu bekerja terlalu keras? Atau Maurice membuatmu kesal?"
"Bukan, Mama. Bukan Mory atau Mrs. Anne." Hanya saja... jenuh.
"Apa karena kau tidak suka sekolahmu?"
"Tidak juga. Aku bilang aku baik-baik saja."
"Baiklah, sekarang ganti bajumu, pakai kaus kakimu dan turun untuk makan, oke?"
Chandelier hanya mengangguk. Ia mulai berjalan dan memikirkan percakapannya dengan Rosa. Apa sih yang ia bicarakan? Bukankah itu hanya membuat ibunya kebingungan? Kenapa ia menyembunyikan hal jenuh itu? Kemudian ia terdiam dan menaiki satu per satu anak tangga.
Sampai di atas ia berjalan ke kamarnya dan merebahkan badannya di atas kasur dengan selimut tertata rapi melapisi setengah kasur. Setelah itu kata jenuh masuk kembali ke pikirannya. Rutinitas ini yang membuatku jenuh, katanya membatin.
Chandelier pun mengganti bajunya dengan baju hangat dari wol sewarna tanah dan memakai celana tidur tipis dan kaus kaki.
Ia menuruni satu per satu anak tangga dan menuju ruang makan.Tiga piring besar berwarna putih terletak di atas meja. Salah satunya masih tertelungkup. Papa.
Chandelier menatap ibunya. Matanya selalu berbinar seakan bahagia bertemu lagi orang yang sangat dirindukannya. Ia hanya merindukan ayahnya. Chandelier mengerti ayahnya tidak akan pernah kembali. Sekali pun ibunya berkata bahwa ayahnya hanya pergi sebentar. Sebentar atau selamanya, apa bedanya?
"Dia tidak menghilang, Sayang. Dia di suatu tempat di antara ruang dan waktu. Kau tahu tidak? Papa yang menyelamatkan kita." Samar-samar Chandelier mendengar suara ibunya berbisik dari masa lalu di dalam otaknya.
Chandelier kemudian duduk di kursi kayu ek di samping ibunya. Di depannya, gelas-gelas kaca berisi jus stroberi kental dibuat Rosa untuk memenuhi meja makan bundar yang sudah ada sejak Chandelier kecil. Dua kentang rebus dipotong dadu dan kacang-kacang polong tertata di piring Chandelier dan ibunya. Chandelier memotong paha kalkun coklat keemasan hangat yang asapnya masih mengepul di udara dengan pisau. Dia mulai memakannya.
Rosa sedari tadi memperhatikan anaknya dengan tersenyum. "Aku tahu ini pasti enak. Genevieve memberikan resepnya padaku. Oh, aku sangat senang dengan tomatnya," Ia menunjukkan tomat panggang di sekitar kalkun. "Mereka tumbuh baik di Graubünden. Terkadang aku ingin ke sana bersamamu, Sayang."
"Liburan tahun lalu keluarga Noelle ke sana. Di sana lebih hangat dan lebih kering. Akankah kita ke sana lagi, Mama? Sambil berjalan-jalan ke rumah Bibi Arenette. Pasti menyenangkan." Chandelier tertawa mengingat dengan cepat dirinya berjalan-jalan di antara tanah lapang berumput tinggi yang lembut. Dia bersama Maurice saat itu, sepuluh tahun lalu. Maurice mengajaknya berlarian saling mengejar.
"Kena kau! Pokoknya kau harus mengejarku dan kau harus mengenaiku. Kalau tidak permainan ini gagal!" Bentak Chandelier seraya berjalan cepat menjauhi Maurice yang ingin mengejarnya. Chandelier semakin berlari cepat, ia menengok ke belakang. Maurice berlari sangat lambat dan melambaikan tangan tanda menyerah. "Hei, Chande! Jangan ke sana. Bibi Arenette akan marah! Chandelier berhenti! Lihat saja ya, aku akan menangkapmu!"
Suara Maurice yang bergema hanya sebagian yang tertangkap di telinga Chandelier. Ia tidak peduli. Ia terus berlari. Tangannya terayun menembus angin yang berhembus dengan hangat. Sandalnya merasakan tekstur tanah yang berubah, lebih berkerikil. Seketika ia tersandung dan wajahnya tersungkur ke atas tanah. Hidungnya menabrak bebatuan dengan keras.
Chandelier mengangkat tubuhnya kesakitan. Ia berusaha menarik napas. Namun ia menghirup debu pekat yang membuatnya tercekat. Debu itu membuatnya bersin dan batuk-batuk sekaligus. Ia mengelus hidungnya dan menekan batang hidungnya. Masih normal.
Maurice terengah-engah menghampiri Chandelier yang mengelap wajahnya dari debu. Chandelier membalikkan badannya dan bingung ketika mendapati Maurice terpaku dan mata bundarnya terbelalak. Mulutnya menganga lebar membentuk lingkarang tidak sempurna. Maurice dengan cepat membalikkan badan Chandelier lagi, dia harus melihat apa yang dilihatnya. Chandelier membeku.
"Chande? Kau baik-baik saja, kan?" Chandelier tersentak kaget dengan petikan jari Rosa di depan wajahnya. Ia tersadar ia tidak lagi tertawa. "Terkadang aku sungguh ingin tahu kau sedang memikirkan apa. Kau seperti ayahmu, kau tahu itu? Terkadang ia melamun panjang tapi aku tahu dia sedang merancang sesuatu. Biasanya sangat besar. Ayolah, habiskan makan soremu!"
Chandelier menyeringai. "Oke, Mama."
"Aku tahu kau merindukan Arenette. Aku juga sangat merindukannya. Sudah lima tahun dan dia belum juga menikah, apa yang ia pikirkan? Bibimu itu wanita yang sangat baik. Ia pernah menyembunyikan diriku di tumpukan jerami. Ayahku sangat marah karena aku melepaskan burung murai kesayangannya, " Rosa tertawa. "Sungguh sebuah kenangan."
"Yah, jika itu yang kau sebut baik, Mama." Chandelier menyahut lembut. Ia suka kalau Rosa bercerita tentang masa kecilnya yang menyenangkan. Melihat binar setiap ia berkedip salah satu yang paling menawan.
Mereka terus-menerus membahas betapa konyolnya tetangga dan anak-anak mereka, rasa lelah dan senang bekerja, bagaimana Chandelier tumbuh di sini, bagaimana ia bertemu Maurice dan mengapa ia harus pindah ke sini.
Malam itu terasa hangat sampai ketika Rosa selesai membersihkan piring-piring kotor berbau mentega. Rosa masuk ke kamar gadis kecilnya, mengucapkan selamat tidur, mematikan lampu, dan menutup pintu.
Chandelier kembali membeku, bukan hanya badannya, seakan-akan suhu ruangan di sekitarnya menurun drastis. Dia kedinginan. Dia kedinginan di saat ingatannya bersama Maurice kembali muncul.
Dia dan Maurice melihatnya. Seantero wilayah itu hangus terbakar. Beberapa tempat, apinya masih berkobar. Ternyata abu halus yang mencekat tenggorokannya. Bibi Arenette langsung menyambar mereka berdua. Menggandengnya dan berlari secepat kilat.
Sejak saat itu aku di sini. Apakah itu nyata? Atau hanya mimpi?
Chandelier meremas bantalnya dan menutup matanya. []
KAMU SEDANG MEMBACA
Alarice's Oak
Mystery / ThrillerPenemuan sebuah jurnal hidup seorang yang tak ia kenal membuat Chandelier Althabilene, gadis berambut coklat tua yang tinggal di Interlaken dalam 10 tahun terakhir itu semakin penasaran. Tak ada seorang pun yang mengenal pemilik jurnal tersebut, ba...