Bab 6 : Bisa Ku Tebak Kau Siapa?

10 2 0
                                    

Chandelier dan Maurice mengantri untuk membayar di kasir. Pemuda itu menghampiri Chandelier dan Maurice dan menatapnya. Ia menghembuskan napas panjang, "hampir saja." Katanya singkat.

Chandelier tersenyum dan mengucapkan terima kasih. "Bagaimana kau bisa melihatku?"

"Hanya sedang bengong dekat jendela." Laki-laki itu mengangkat alisnya. "Omong-omong, aku Aillard."

"Oh, aku Chandelier. Dia teman baikku, Maurice."

"Oke, halo, Chandelier, Maurice. Aksi yang berani. Sampai jumpa."

Chandelier dan Maurice hanya tersenyum, kemudian saling menatap.

"Apa?" Tanya Maurice. "Dia seorang fotografer, kau tahu."

"Longtemps image, huh?"

Seraya penjaga kasir memberikan kembalian kepada Maurice, mereka berjalan keluar.

"Ya, kau tahulah berita itu, sangat memukulnya." Maurice menghampiri sepedanya dan menaikinya. 

"Tapi kan, dia tidak tahu apa-apa, kau tahu." Chandelier menaiki pijakan sepeda Maurice. "Kau siap?"

"Oke." Maurice mengiyakan. Maurice pun mengayuh sepeda dengan berat. Sampai sepeda itu jalan, mereka benar-benar menabrak angin dingin pada wajah mereka. Maurice mempercepat sepeda itu.

"Kau mau main ke rumahku, Mory?" Tanya Chandelier mendekatkan mulutnya ke telingan Maurice.

"Haah?! Apa?" Maurice berteriak tidak mendengar pertanyaan Chandelier.

"Main ke rumahku! Ada sesuatu yang ingin ku ceritakan."

                                                                                        ***

Chandelier masuk ke dalam rumahnya. Maurice menyangga sepedanya dan mengikuti Chandelier. Setelah mereka masuk, mereka melepas selapis jaket dan menggantungkannya. Chandelier merasakan lantai hangat dari bawah kakinya. Ia pun mengajak Maurice ke kamarnya.

"Wah, dingin sekali hari ini." Keluh Maurice. "Madame Althabilene?"

"Umm, aku tidak tahu, mungkin mengobrol bersama ibu-ibu di jalan," Chandelier berpikir, "sebaiknya kita ke kamarku."

"Oke." Mereka menginjak anak-anak tangga menuju kamar Chandelier. Maurice seringkali ke sini untuk bermain. Setiap ke atas, ia selalu memperhatikan rumah Chandelier. Ia melihat sebuah pintu yang sepertinya terkunci, berada di seberang kamar Chandelier. Ia tak pernah berhenti bertanya-tanya ruangan apa itu. Semakin lama, ia sadar, totalnya, ada tiga pintu yang terkunci. 

Pintu kamar Chandelier terbuka.

"Chand, apa aku boleh bertanya?"

"Ya?" Chandelier membalas.

"Ruangan apa di seberang kamarmu?"

"Hah? Oh, kau mau masuk? Tidak spesial sih, itu balkon. Kami tidak pernah membukanya, karena dari kejauhan orang-orang dapat melihat isi rumah. Mama takut kalau ada seseorang yang masuk dan aku sedang sendirian di rumah."

"Benarkah? Apa aku boleh ke balkonmu?"

"Silahkan, itu tidak dikunci  kok, hanya kunci slot."

Maurice melangkahkan kaki menuju pintu itu dan membukanya. Angin dingin menerpanya, membuat pintu itu terhempas di belakangnya dan menabrak tembok. Maurice memegang pipinya yang sangat dingin. Dia tercengang melihat pemandangan dari balkon tersebut. Dilihatnya seluk-beluk kota kecil yang mereka tempati. Semuanya senyap. Madame Althabilene benar soal semua orang bisa melihat isi rumahnya.

Alarice's OakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang