Chandelier memutar wajahnya kembali untuk tidak peduli. Ia mengedikkan bahunya seraya membuka mulut untuk memasukkan suap terakhir röstinya. Piringnya kembali kosong dan berminyak. Ia membalikkan pisau dan garpunya serentak tanda ia telah berhenti menyantap makanannya.
"Chandelier," Rosa memulai pembicaraan kembali, "memang sedikit paranoid tapi kau kelihatan punya banyak pikiran untuk sesuatu. Apakah teman laki-lakimu membuatmu berpikir terlalu banyak?"
Chandelier menyeringai geli. "Bukan, Mama. Aku bahkan tidak terlalu menanggapi mereka."
Rosa mengunyah panekuk dan tersenyum, "Cerita padaku kalau terjadi sesuatu. Kau sudah menjadi remaja sekarang," Rosa memotong kembali panekuk yang sekarang tinggal seperdelapan bagian dari semula, "memang wajar kalau kau mulai memikirkan seseorang lebih mendalam."
Chandelier menyandarkan badannya. Ia mengerti ibunya hanya berbicara agar Chandelier merasa aman untuk menyimpan rahasia bersamanya, namun seseorang yang benar-benar ia pikirkan saat ini adalah dirinya sendiri. Ia bahkan tidak tahu apa yang harus dipikirkan selain memori fana mengerikan yang datang kemarin sore itu, merayap bagaikan asap yang memasuki rumah-rumah.
Ia harus berbicara pada Maurice.
Chandelier kembali menengok ke arah jendela. Anak itu tidak ada. Merasa tak ada masalah, ia menyesap minuman coklatnya yang telah hangat. Kemudian mulai menenggaknya lebih cepat hingga tetes terakhir.
"Sudah selesai?" Pelayan berkuncir kuda itu menghampiri.
Rosa membersihkan sisa madu di panekuk dengan jari kelingkingnya. Pelayan itu segera menyebutkan harga makanan dan Rosa membayarnya. Rosa dan Chandelier kemudian beranjak dari kursi dan keluar dari kedai tersebut. Dilihatnya banyak orang yang mulai memanggil pelayan di sekitar mereka tanda telah selesai. Rosa dan Chandelier pun keluar melewati pintu masuk dan loncengnya berbunyi kembali.
Hawa dingin kembali menusuk pipi merah Chandelier. Ia seketika menyembunyikan tangannya di balik kantung depan baju hangatnya. Ia mengedikkan bahu dan mulai berlari kecil mengiringi langkah bersama ibunya.
Jalanan menjadi lebih ramai dengan anak-anak balita belajar mengendarai sepeda baru mereka dengan orang-orang dewasa mendampingi. Matahari telah muncul dari timur membuat siluet rumah-rumah mungil di depannya. Sungai Aare terlihat sejernih kaca, mengalir dengan arus sedang sejajar dengan jalanan beraspal. Chandelier terus berlari hingga udara dingin memenuhi rongga hidungnya. Di ujung jalan ia melihat seseorang mengebut dengan sepedanya. Rambut coklat lurusnya berterbangan seraya sepedanya melaju semakin cepat. Ia memakai topi merah dan baju hangat berwarna putih gading. Gadis itu memperlambat lajunya setelah melihat Chandelier. Chandelier mengenalinya.
"Selamat pagi, Mrs. Althabilene! Chande!" Sapanya dengan semangat. Napasnya terengah-engah.
"Selamat pagi, Maurice. Kau sendirian?" Tanya Rosa melirik di balik badan Maurice yang menutupi jalan.
"Umm, orang tuaku sedang pergi dan kembali lagi besok pagi."
"Oh ya? Grace tidak memberitahuku," Rosa menatap Maurice bingung, "kalau begitu, kau bisa datang ke rumah kapan pun, Maurice!"
"Yah, kapanpun, Mory." Ujar Chandelier tidak bersemangat. Walaupun sebenarnya akan menjadi menyenangkan. Ia dan keluarga Maurice seperti terhubung dalam keluarga besar begitupun sebaliknya. Maurice anak satu-satunya dan Chandelier tahu itu tidak menyenangkan di rumah sendirian dengan hanya ditemani penghangat ruangan. Ia memilih untuk menyenangkan sahabatnya.
"Yah, Mrs. Althabilene, aku rasa aku akan diusir kalau begitu." Maurice menatap Chandelier kosong.
"Umm," Rosa melihat Chandelier dan Maurice secara bergantian, "ku pikir kalian punya banyak yang harus dibicarakan. Aku duluan kalau begitu. Jangan terlalu sore, Chande. Sampai jumpa!"
Chandelier terdiam. Ibunya memberikan kesempatan yang dimana ia bahkan tidak teringat rencana awalnya. Ia bersorak dalam pikirannya mengingat ia tahu harus memulai darimana. Ini waktunya ia berbicara pada Maurice. Walaupun ia sebenarnya tahu respon Maurice padanya akan seperti: "Mm, yah aku mungkin tidak bisa membantu banyak. Setidaknya aku sudah mendengarkan ceritamu."
Rosa menepuk bahu Chandelier dan mulai mengambil langkah. Sinar matahari menembus ayunan rambut coklatnya yang dikuncir kuda, menampakkan warna keemasan yang berkilau.
"Apa kau benar-benar punya topik untuk ini?" Maurice seketika berbicara.
"Yaah, sebenarnya ada. Tolong, dengarkan. Jangan mengganggu dan jangan menganggap ini aneh."
"Um, ya, sebenarnya sebelum kau mulai, ini sudah terasa aneh." Maurice berhenti dan mulai mengayuh sepeda dengan pelan.
"Kau sebenarnya ingin kemana, sih?" Chandelier mulai menyamai langkahnya dengan laju sepeda.
"Gingembre de Gardner?" Maurice mencoba mengingat sesuatu.
"Ow, oke. Aku tadi ke sana bersama ibuku, sekedar memberitahu." Kata Chandelier spontan.
"Oh ya? Ibuku menyuruhku untuk membeli satu pak minuman hangat untuk libur ini. Dia menyebutkan kedai Mr. Skönheureux dalam setiap kalimat sebelum dia pergi kemarin, kau tahu." Maurice tertawa kecil.
Sekarang Maurice yang menyamai langkah Chandelier. Ia terkadang berhenti untuk menghentakkan kakinya ke jalan untuk menyeimbangkan diri dari kecepatan sepeda yang terlalu pelan.
"Kau tahu, Chandey. Guru bermata kucing di sekolah...."
"Mory, dia dari Cina.."
"Tidak. Aku serius, Chandey," Maurice memberhentikan sepedanya kemudian mengangkat tangannya, memberhentikan Chandelier untuk melanjutkan percakapan. "Kau tahu, kan, penglihatan kucing lebih peka dalam kegelapan?"
Chandelier menatapnya jijik, "umm, oke.. dan namanya Ms. Liu."
"Dia dapat melihat dalam kegelapan yang melingkupi diriku. Dia memberi tahuku memori yang dapat membawa sesuatu yang fana menjadi ada."
"Hah? Memori apa? Seperti kau mengada-ada tidak memasuki ruang guru tanpa izin?" Chandelier mengerutkan dahinya dan tertawa sinis.
"Yah, tidak juga. Hei, bukan begitu!" Maurice tertawa.
"Dia bilang bahwa aku harus mencoba lebih sering bersama temanku. Mencoba percakapan yang lebih... imajinatif, terkadang itu menciptakan memori yang fana menjadi ada." Maurice melanjutkan.
"Hah? Apa yang sebenarnya sedang dia - eh, kau bicarakan?"
"Apakah kau tidak merasakan bahwa itu benar? Buktinya, kau baru saja ingin menceritakan sesuatu yang tidak biasa. Kau baru saja ingin menceritakan sesuatu yang fana... menjadi ada." Mata Maurice membesar.
"Kau melebih-lebihkan. Kau bahkan tidak tahu apa yang ingin aku katakan." Chandelier ketawa lebih keras.
Nyatanya dia memang benar.
"Mungkin dia benar. Ia melihatmu kesepian," Chandelier menarik nafas, "jadi ia memberi saran agar kau lebih banyak menghabiskan waktu dengan teman-temanmu, tentunya."
"Aku. Benar-benar. Sudah. Selesai. Denganmu." Maurice menatap Chandelier dengan tidak ramah.
"O-oh, kita masih jauh dari tujuan, kau tahu." Ujar Chandelier berinisiatif untuk berjalan lebih cepat. []
KAMU SEDANG MEMBACA
Alarice's Oak
Mystery / ThrillerPenemuan sebuah jurnal hidup seorang yang tak ia kenal membuat Chandelier Althabilene, gadis berambut coklat tua yang tinggal di Interlaken dalam 10 tahun terakhir itu semakin penasaran. Tak ada seorang pun yang mengenal pemilik jurnal tersebut, ba...