Bab 5 : Bocak Laki-laki pada Rentetan Memori

11 2 0
                                    

"Kau sebaiknya naik di pijakan kaki sepedaku." Kata Maurice sambil menengok ke belakang.

"Aku berat."

"Ya. Memang. Aku kuat, kok."

"Oke." Kata Chandelier menyerah. Ia berjalan ke belakang sepeda Maurice dan menginjak pijakan kaki sepeda tersebut. Ban sepeda Maurice turun setelah digencet gadis dengan berat lebih dari 40 kilogram tersebut.

"Wo-wow," Maurice kehilangan keseimbangan. Ia langsung mengendalikan sepeda dan mulai melaju. Chandelier refleks memegang pundak sahabatnya.

Mereka kemudian menerpa angin dingin seiring dengan kecepatan sepeda yang ditingkatkan secara bertahap. Chandelier berteriak kedinginan. Maurice mengiyakan juga dengan suara yang kencang.

Orang-orang yang berlalu lalang memperhatikan mereka sambil tersenyum. Mungkin merasakan keliaran dua remaja perempuan yang masih belum bisa melupakan keindahan masa kecil mereka. Namun sebagian besar orang lainnya-seperti para lanjut usia- tidak peduli. Pandangan dan kerutan wajah mereka selalu menampakkan terlalu banyak perjalanan hidup yang telah mereka lalui.

"Chandey!! Hati-hati yaa!" Seorang anak perempuan berseru sambil melambaikan tangan mungilnya.

Chandelier menengok ke belakang dan berseru. "Oh, halo, Dominique!" Imaji Dominique semakin menjauh dari penglihatannya.

Mereka telah sampai di ujung jalan. Sepeda Maurice terhenti. Ia turun dari pijakan kaki itu. Kedai seperti kabin itu tampak hangat di mata Chandelier. Suara banyak orang di dalam bahkan seperti dengungan nyamuk yang samar di telinganya. Chandelier melihat dari cela pintu masuk keharmanisan pada setiap makan dan minuman hangat yang lewat untuk pelanggan. Apa aku harus masuk lagi? Sangat hangat di sana. Ia menggosok-gosokkan tangannya.

Kemudian menengok ke bagian kiri kedai, tempat anak yang tak dikenalnya itu melambaikan tangan. Ia menatapnya lama. Memejamkan mata dan membukanya lagi hingga beberapa kali.

"Pokoknya kau harus masuk, kita bisa mengobrol di dalam." Kata Maurice yang memarkir sepedanya di samping pintu masuk. Chandelier tersentak.

"Eh, aku rasanya ingin berkeliling kedai ini sebentar. Aku akan menyusul. Kau beli apa yang ibumu suruh."

Maurice mengangkat bahunya. Kemudian melangkahkan kakinya menuju konter minuman yang telah dikemas. "Dah!" Dia tiba-tiba berkata.

Chandelier melambaikan tangannya. Ia kemudian berjalan pelan ke samping kiri kedai tersebut.

                                ***

Kopi panas di tempat kerja membuatnya muak. Bahkan ketika melihat mesin itu sambil berjalan keluar kantor. Namun hawa dingin tak kunjung menghangat, mengharuskan dia untuk mencari tempat yang lebih tepat untuk membuat tubuhnya semangat bekerja.

Koleganya telah lama merekomendasikan kedai ini. Dia pun tidak terlalu kecewa juga untuk datang ke sini. Suasananya hangat dan yang dia tahu pemiliknya legendaris -dalam sisi tertentu. Dia tahu apa yang terjadi di sini karena dia yang membantu para jurnalis lancang untuk mendapatkan foto-fotonya. Yah, dia bukan penguntit dan pastinya bukan orang jahat. Dia telah lama menjadi bagian dari sebuah firma yang isinya fotografer, sekitar seperlima tahun dari umurnya sekarang.

Ya, dia seperti menjadi saksi bisu Gardner kecil yang malang. Entah kenapa anak itu tidak sengaja ada dalam fotonya. Dia hanya mencoba memotret jalanan sepi dengan banyak daun beech berguguran. Dimana letak ketidakestetikan lanskap tersebut? Lalu ia kembali ke tempat yang koleganya selalu bilang 'rumah' dan mulai mengedit. Ia memperbesar foto pada beberapa bagian dan voilà* !  Anak itu memang sedang terperosok ke jurang.

Alarice's OakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang