Waktu Kecil Huda Dan Nia

368 28 15
                                    

Seperti biasanya, jam bermain Taman Kanak-kanak *Harapan Bangsa* selalu ramai.

Anak-anak bermain dengan temannya masing-masing. Azis, Agus, Santi, Rina, Ria dan Ida tengah bermain prosotan. Indah dan Siti main jungkat-jungkit. Sutopo main kejar-kejaran sama Heru. Purwanto dan Ari main perang-perangan. Beni dan Udin main cubit-cubitan. Ish! Anak ini bakat mahonya emang sudah terlihat sejak dini.

Sementara itu Huda, Nia, Mifta, Lucky, Eva, Febri, Aris, Lika, Narni dan Erviana asik main petak umpet.

"Main petak umpetnya jangan pake ngumpet-ngumpet dong, nyusahin tau..." gerutu Nia ketika dapat giliran jaga.

"Kita main ayunan aja yuk" ajak Huda.

Nia tak menolak. Mereka kemudian melangkah menuju ayunan.
Persahabatan keduanya memang lengket banget kayak getah pisang nempel di baju. Banyak persamaan pada keduanya, di antaranya sama-sama sekolah di TK yang sama dan sama-sama takut sama kecoa'.

Nia-lah yang membuat Huda bersemangat pergi ke sekolah tiap pagi. Begitupun sebaliknya. Hanya di TK tersebut mereka bisa bertemu. Rumah mereka berjauhan.

"Bu Tarmi kayak orang gila ya, Mas. Ketawa tawa sendiri, hihihi..." kata Nia melihat Bu Tarmi, guru TK mereka yang sedang teleponan sama pacarnya di sudut sekolah.

"Mungkin dia lagi ngobrol sama calon suaminya," jelas Huda, sambil menarik dan mendorong ayunan yang ditempati Nia dengan hati-hati.

"Kok Mas Huda tau?" tanya Nia. Menoleh sebentar ke arah Huda.

"Kata Ibu calon suaminya Bu Tarmi seorang dokter,"

Huda mendorong ayunan, kali ini lebih bertenaga.

"Jangan kenceng-kenceng Mas!" protes Nia.

"Hehehe takut ya?"

"Aku juga nanti udah besar mau jadi dokter, Kalo Mas Huda udah besar mau jadi apa?"

Huda berhenti mendorong ayunan Nia. Ia duduk di ayunan satunya lagi.

"Kalo aku... Aku mau jadi seseorang yang melingkarkan cicin di jari manismu..."

Nia kecil menatap Huda tak mengerti.

"Supaya apa?"

"Itu namanya menikah. Supaya kita bisa berteman dan hidup bersama-sama sampai tua."

"Sampai tua? Ih senangnya, hihihi.." Nia tertawa lebar, memperlihatkan gigi tengahnya yang ompong dua.

Huda juga tertawa.

"Di sini mulai panas. Kita main di bawah pohon jambu air itu aja yuk, Mas?" Nia menunjuk pohon jambu air di samping gedung sekolah.

Huda mengangguk setuju. Kemudian meraih tangan Nia dan dibawanya berlari-lari kecil meninggalkan ayunan, menuju pohon jambu air yang tengah berbunga lebat.

"Tapi emangnya boleh Nia menikah sama Mas Huda? Kita kan bukan saudara? Semua orang menikah dengan keluarganya sendiri. Abangku menikahi Kakakku, Ibu menikahnya sama Ayahku, Om-nya aku juga nikahnya dengan Tanteku?" tanya Nia sesampainya di bawah pohon jambu air. Suaranya agak sedih.

"Emm.. Iya juga, yah?" Huda ikut sedih.

"Kakekku juga nikahnya sama Nenekku. Mereka nikahnya sama saudara sendiri."

"Tapi aku ga mau nikah sama adikku. Dia nakal, suka minta mainan Nia. Kalo ga dikasih nangis."

"Sama! Aku juga ga mau menikah sama sepupuku, dia laki-laki, namanya Sutopo. Aku maunya sama perempuan. Kamu..."

Nia tersenyum manis.

"Kalo ga dibolehin?"

"Aku nangis."

"Ih.. Kata Ibu, Anak laki-laki ga boleh cengeng."

"Iya sih. Ga boleh nangis," jawab Huda pelan.

Beberapa saat keduanya diam, menikmati angin sepoi-sepoi yang tiba-tiba datang, mengibarkan bendera di halaman sekolah. Menggoyangkan pohon akasa, juga pohon jambu air tempat Huda dan Nia bernaung.

Huda mengusap-usap rambut Nia, membersihan bunga-bunga jambu yang berguguran mengotorinya. Nia tersenyum kecil, merasa begitu nyaman dan terlindungi.

"Eh itu udah ada yang jadi buah."

"Mana, Mas?" Nia melihat ke atas.

Benar. Di antara bunga-bunganya yang banyak, ada beberapa yang telah menjadi buah. Warnanya merah, seperti bibir Nia.

"Nia mau?" tanya Huda.

"Mau, Mas, mau banget. Udah sehari ga makan jambu air," sahut Nia dengan suka cita.

"Aku ambilin ya?"

"Giamana Mas cara ngambilnya?"

"Aku panjat."

"Ih jangaaan! Nanti jatuh gimana? Kalo ketahuan Ibu Tarmi juga dimarahin..."

"Enggaklah,"

Huda ga peduli. Ia segera menaiki pohon jambu demi mengambilkan buahnya untuk Nia.

"Hati-hati Mas..." seru Nia dari bawah.

Walau dengan sedikit susah payah, tapi akhirnya Huda berhasil memetik buah jambu yang letaknya lumayan di pucuk. Setelah itu ia pun turun. Menjelang semeter lagi menginjak daratan, tiba-tiba...

Jebreeeeett!!!

Dahan yang Huda pijak sempal! Lalu kakinya terjegal dahan di bawah dahan yang patah tadi.
Hasilnya jelas, Huda terpelanting ke tanah dengan posisi kepala duluan.

"BEUKHH!" Begitu bunyinya!

Nia menjerit kecil dan berlari mendekati Huda.

"Kamu ga apa-apa, Mas?"

Huda memegangi kepalanya sambil meringis kesakitan. Ia menggeleng lemah. Ia ingat anak laki-laki ga boleh cengeng.

"Kan udah dibilangin jangan manjat. Bandel sih," Nia memarahi Huda.

"Nia takut Mas jatuh, trus sakit, trus ga bisa sekolah, trus nanti ga ada yang nemenin Nia main."

"Kan ngambilin ini, buat kamu," Huda memberikan jambu di tangannya. Sambil tetap meringis kesakitan.

Nia tak memperdulikan jambu tersebut. Di pegangnya kepala Huda, kemudian dihembus-hembusnya penuh kasih sayang.

"Fhuh.. Fhuh.."

Huda tersenyum di antara sakit, tapi memang sakit di kepalanya sudah jauh berkurang.

"Aku salah jatuh tadi," katanya, sambil memandangi pohon jambu yang telah menjatuhkannya barusan.

"Iya Mas. Harusnya jangan kepala duluan."

Huda mengangguk-angguk.

Lalu tanpa pikir panjang ia segera memanjat naik ke pohon jambu lagi.

Nia tercengang beberapa saat.

"Mas?! Ngapain manjat lagi?!! Jangaan!"

"Yang tadi itu aku salah jatuh, Aku harus mengulang jatuh lagi dengan cara yang benar!" seru Huda di ketinggian satu meter, kemudian melompat menjatuhkan diri.

"DUGH!" Bunyi dengkul Huda berbenturan dengan tanah.

"Adududuh..." rintih Huda memegangi dengkulnya yang terasa nyeri. (Mudah-mudahan dia tidak sampai mengalami gegar otak.)

Sementara Nia, sudah pingsan sejak beberapa detik yang tadi.

×××××
Tunggu Cerita Huda Dan Nia Selanjutnya..

Happy Reading..

Huda dan NiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang