Declaration

7.4K 331 11
                                    


Lumina POV

Waktu menunjukan pukul lima sore hari, sementara aku baru sampai di rumah sekitar lima belas menit yang lalu. Aku menghembuskan nafas lelah sambil menjatuhkan tubuhku ke sofa. Mataku bergerak liar menyusuri pemandangan di ruang keluarga. Televisi sebesar 42 inch yang tertata rapih di atas bufet beserta sound sistemnya, rak buku besar yang berada di sebelah Timur sofa tempat aku duduk saat ini, lemari hias yang kebanyakan isinya adalah action figure milik Eva dan beberapa foto di dalamnya, dan yang terakhir adalah deretan foto – foto keluarga kami yang terpajang di dinding. Di figura yang paling besar adalah foto keluarga kami secara utuh. Terdapat foto almarhum ayah, ibu, aku, Eva, dan Ava. Ayah telah tiada saat aku masih bersekolah di Sekolah Dasar dan tentu saja foto di figura besar itu merupakan hasil editan karya fotografer handal di rumah kami, Eva. Selain jago dalam hal berbau fotografi, anak itu juga cukup lumayan dalam bidang photo editor dan design. Ava masih berumur satu tahun di foto tersebut. Ia menggunakan gaun putih dengan flower crown dikepalanya. Dia sangat menggemaskan.

Oh, ya. Ngomong – ngomong dimana Ava saat ini, ya? Dari tadi aku belum melihatnya. Tunggu, mendengar suara pun tidak.

Aku beranjak dari sofa dan menaiki satu persatu anak tangga agar bisa menuju ke kamar gadis kecilku. Ah, daun pintu kamarnya sedikit terbuka. Aku pun masuk ke dalam. Dan disanalah dia, berbaring di kasur dengan mata yang tertutup dan sebuah boneka teddy bear di genggamannya. Gadisku kecilku itu terlelap.

"Ava tidurnya sudah dari tadi, kok, Na. Kamu bisa bangunkan dia." Kata ibu yang datang secara tiba – tiba dan mengagetkanku.

Aku menoleh kearah pintu. "Biar sajalah, bu. Kasihan kalau di bangunkan, nanti dia malah rewel lagi." Kataku.

Ibu menghampiriku. "Tadi Ava gak mau makan kalau bukan sama kamu. Terus ibu bilang bunda juga gak mau pulang kalau Ava gak makan. Akhirnya dia baru mau makan, sambil terus ibu bujuk dengan film kartun. Hihi."

"Hihihi, dasar anak ini." Aku malah ikut tertawa.

"Kalau engga salah, bukannya kamu ada janji sama Sandy malam ini?"

"Lebih tepatnya aku dan Ava bu, bukan aku sendiri."

"Oh, sama Ava juga toh?" Tanya ibu.

"Iya, bu." Jawabku singkat.

Ibu terdiam sesaat.

"Mmm. Kalau kata ibu, Sandy itu suka sama kamu deh, Na." Ujar ibu sok tahu.

"Memangnya ibu tukang ramal? Perasaan orang kan engga ada yang tahu, bu."

"Yah, kalau yang ibu lihat selama ini dari sikapnya ke kamu, sih, sepertinya begitu. Memangnya kamu gak tertarik sama Sandy?"

"Ck, ah. Gimana, ya? Sandy itu teman dan partner yang baik, bu. Tidak lebih dari itu."

"Apa kamu masih belum bisa melupakan Dia?"

Aku menghembuskan nafas panjang. Tuh kan, ibu pasti mengkaitkannya dengan pria itu. "Engga bu, aku hanya belum siap kalau harus menikah. Aku sedang menikmati jadi seorang single parent untuk Ava."

"Jangan lama – lama jadi single mom, nanti kamu keburu keriput dan malahan engga ada yang mau sama kamu, loh."

"Bu, please..." Aku terkekeh kecil. "Jangan takut – takutin anaknya kayak gitu dong, bu."

"Makanya cari suami agar bisa bantu kamu cari nafkah, memangnya kamu engga kasian sama Ava?"

Refleks, aku langsung menoleh ke arah Ava yang masih terlelap. Ya, ibu benar. Ava butuh ayah untuk membantu tumbuh kembangnya. Bagaimana kalau jika besar nanti Ava menjadi gadis yang kekurangan kasih sayang seorang pria dan malah terjerumus ke dalam hasutan para pria berhidung belang yang hanya ingin memanfaatkannya? Hiiiii,hanya memikirkannya saja aku ngeri. Ya Tuhan jauhkan hal buruk dari anakku.

Hate To Loving YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang