Bagas mengajak Rana ke suatu gedung yang tak terpakai dibelakang sekolah. Disana berdiri sebuah gedung tua yang hanya terdiri dari dinding saja. Bahkan gedung itupun tak memiliki pagar sehingga mempermudah Rana dan Bagas masuk ke dalamnya. Bagas menarik Rana untuk naik tangga, dia mengajak Rana untuk menuju ke rooftop gedung itu.
Mereka bersandar di tepi dinding. Rana menikmati sejuknya angin yang berhembus di gedung itu. Rambut Rana yang tergerai pun tesapu oleh angin. Bagas memperhatikan Rana dengan seksama.
"Menurut kacamata gue ya, kamu suka tempat yang sepi kan?" tanya Bagas. Rana menoleh. "Seneng ga Bagas ajak kesini? Jarang-jarang loh Bagas ngajak cewe pergi."
Rana pun tersenyum. "Iya, suka ko kalo aja diajaknya ga sambil ngebolos begini."
Bagas menggaruk tengkuknya. "Bagas nanti coba jelasin deh kalo Rana ga salah." ucap Bagas.
Kalo inget.
Mereka menghabiskan waktu disana sambik mengobrol. Ini adalah hal pertama bagi Rana. Bisa berbicara kepada seseorang dalam waktu yang lama. Bahkan dengan seseorang yang tergolong baru dalam hidupnya. Tetapi, Rana mampu berceloteh dan bercerita dengan Bagas. Seseorang se-menyebalkan Bagas dapat membuat Rana berbicara lama.
Mereka menghabiskan waktu hingga siang. Rana mengajak Bagas untuk kembali ke sekolah.
Setibanya di sekolah, Rana melihat ada Nina di depan kelas mereka. "Rana, kamu ga apa-apa? Kamu dari mana aja? Untung aja tadi gurunya ga masuk." tanya Nina. "Bagas, bawa Rana kemana?"
"Ke belakang sekolah. Aku baik-baik aja ko Nin," ucap Rana. Nina mengajak Rana untuk masuk ke kelas.
"Aduh, dari mana aja ini Rana? Ko Bagasnya ga ada?" ucap Tyo -ketua kelas.
Hampir semua siswa menatap Rana dengan tatapan bertanya -apakah dia baik-baik saja? Atau dengan tatapan -cie yang dibelain. Dan dengan tatapan yang lainnya.
Rana kembali duduk ditempat duduknya. Dia sempat melewati tempat duduk Vega. Vega menatap Rana seakan-akan ingin melahap Rana saja. Benar-benar menakutkan. Ya, berlebihan memang. Tapi, kalau kalian lihat sendiri mungkin kalian akan menyimpulkan sedemikian juga.
"Dasar cewe aneh! Belagu! Liat aja, gabakal tenang itu hidupnya." ucap Vega yang masih dapat didengar oleh Rana.
Rana hanya menghembuskan nafas panjang.
***
Bel pulang telah berbunyi, mempersilahkan siswanya untuk kembali kerumahnya masing-masing. Rana berjalan sendirian keluar kelas. Di depan kelas dia bertemu dengan Bagas yang tengah tertawa terbahak-bahak bersama teman-temannya. Rana melirik ke arah Bagas. Bila diperhatikan lebih jauh, Bagas terlihat manis ketika sedang tersenyum.
Bagas melihat Rana keluar kelas, segera Rana memalingkan wajahnya menatap yang lain. Takut-takut jika Bagas mengetahui bahwa dia sedang meliriknya sedari tadi.
Saat Rana ingin melangkahkan kakinya lagi, Bu Ajeng -Guru kesiswaan menghampirinya. Dia membuka gulungan kertas kecil di tangannya.
"Rana Saldiratyani, kelas XI Ipa 2 ya?" ucapnya sambil mencoba untuk membaca tulisan yang ada di kertas tersebut. Rana mengangguk. "Ya, bu itu saya. Ada apa?" tanya Rana.
Pandangannya beralih ke arah anak laki-laki di depan kelas. "Bagas Aditya Wirasena, XI Ipa 2? Yang mana?" tanyanya lagi.
Bagas menoleh, "Saya bu!" ucapnya.
"Kalian, ikut ibu sebentar ya." ucap Bu Ajeng.
Bagas melirik Rana sekilas dengan tatapan bertanya, Rana mengendikan dahunya. Mereka mengikuti Bu Ajeng hingga ke ruangannya.
"Ibu mau tanya ke kalian," ucap bu Ajeng. "Kalian kemana tadi? Tadi ada yang ngelapor ke ibu, katanya kalian membolos saat pelajaran. Apa itu benar?"
Pertanyaan Bu Ajeng membuat Rana dan Bagas saling tatap-tatapan.
Bagas berdehem ke arah Rana.
Memberi isyarat bahwa dia yang ingin menjelaskan ke bu Ajeng. "Sebenernya sih, ga ngebolos bu. Abis gimana ya kalo disekolah tuh rasanya saya jenuh. Saya bosen bu belajar terus tapi ga pinter-pinter."Rana langsung membulatkan matanya.
"Ibu ga butuh pendapat kamu. Kamu Rana, kenapa kamu ikutin Bagas ngebolos?" tanya Bu Ajeng.
Baru saja, Rana ingin membuka suara. Ternyata ada suara lain yang menginterupsinya. "Bu, pacar saya itu ga bisa jauh-jauh dari saya. Terus ya, kadang dia itu suka cemburuan. Padahal saya ngebolos cuma mau ke depan sebentar bukan mau godain perempuan. Ya tapi gitu bu, dianya ga percaya. Yaudah saja ajak juga deh sekalian biar dia percaya." ucap Bagas dengan lantang dan santainya.
Kalau saja ini bukan di ruangan Bu Ajeng, mungkin Rana sudah ingin menghabisi laki-laki satu ini.
"Ihh, ibu jangan percaya sama Bagas bu. Tadi dia itu ngebohong. Jadi tadi tuh kita keluar karena-"
"Sudah sudah, Ibu sudah tidak mau dengar alasan lagi. Intinya sekarang ibu sudah tahu, kalian tadi ngebolos jam pelajaran. Dan besok, kalian harus mempersiapkan diri untuk menerima hukuman dari ibu. Sekarang kalian boleh pulang." ucap Bu Ajeng.
"Bu.. tapi kan," ucap Rana.
Bu Ajeng menggelengkan kepalanya. Dengan berat hati Rana keluar dari ruangan bu Ajeng.
"Ih, ini semua gara-gara lo bagassss!" Rana memukuli lengan bagas.
"Aduh Ran, sakit ini Ran."
"Biarin, ga peduli." ucap Rana.
Bagas berusaha menghentikan pukulan yang Rana berikan. Namun, puncak emosi Rana sudah mencapai ubun-ubunnya. Dia sudah sangat kesal dengan makhluk di depannnya ini.
Lalu, dengan sigap tangan Bagas menggenggam tangan Rana. Bagas menatap Rana dengan jarak yang begitu dekat. Rana yang terkejut pun juga ikut menatap Bagas. Mereka bertatapan dengan bungkam.
Jantung mereka pun sudah berdegup begitu kencang dan cepat.
Setelah beberapa detik adegan itu, Rana kembali menarik tangannya. Rana seperti ingin mengucapkan sesuatu pada Bagas. Namun diurungkan. Dia menjadi salah tingkah. Akhirnya Rana pun pergi meninggalkan Bagas di depan ruangan Bu Ajeng.
Saat Rana sudah melangkah pergi, Bagas memegangi dadanya. Masih terasa degupan jantung itu. Dia menarik seulas senyum diwajahnya.
Sedangkan Rana pun masih berusaha untuk menetralkan degupan jantungnya dengan berjalan menjauhi Bagas.
***
Bila aku jatuh cinta
Aku mendengar nyanyian
Seribu dewa dewi cinta
Menggema duniaBila aku jatuh cinta
Aku melihat matahari
Kan datang padaku
Dan memelukku dengan sayang- Bila aku jatuh cinta
KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Hening
Teen FictionDia, perempuan tanpa suara. Aku, lelaki tanpa sepi Dia membenci keramaian Aku membenci kesunyian. Sikap kami aneh, sulit ditebak. Kami berbeda Kadang, aku bertanya dalam mimpi Dapatkah kami memeluk erat perbedaan itu? Atau, dapatkah kami bersisian t...