12. Pagi, Embun, dan Eunoia

451 22 0
                                    

Swastamitha menggelora
Memucatkan candra dan menyambut kebangkitan baskara
Menguarkan kandela keemasan dari ufuk timur
Menyingkap perlahan tirai biru tua sang malam

Menggugurkan titik embun menjadi air
Layaknya mengugurkan harapan menjadi serpih
Cahaya yang datang dari baskara tiada menghangatkan
Karena dirinya terlanjur membeku layaknya pulau es di kutub

Embun yang jatuh dari daun tiadalah membenci daun
Embun yang tersepai saat menyentuh tanah
Tiadalah membenci tanah
Tapi dia benci pada itu semua

Dia benci pada pengharapan yang dilontarkan
Ditembak proyektil hingga pecah terserak
Didorong hingga mengalami gerak transenden
Berakhir jatuh ke jurang hampa dan diam di sana hingga lebur sendirinya

Itu menyiksa
Dan bau petrikor tiadalah menenangkannya
Pun segelas kafein atau teh hijau
Pun pemandangan di depannya

Sementara eunoia hanyalah sugesti
Sebaris kalimat penghiburan diri
Yang artinya sama saja dengan harapan
Dia membenci harapan

Jadi dia berhenti menyuntikkan dirinya dengan eunoia
Cukup sudah
Cukup sudah ia dikhianati pengharapan
Lebih baik ia bergeming dan menunggu pasti

Pasti yang tidak diharapkan
Namun ia mengharapkannya
Ataukah ia akan menjemputnya saja?
Baiklah, ia akan menjemputnya

Ia merentangkan tangannya, menyambut pasti
Lantas mendorong diri layaknya proyektil
Bergerak lurus searah dengan gravitasi
Dan berdebam di bawah sana

Kali ini, ia tidak membenci tanah
Karena ia sudah hancur sehancur harapannya
Embun yang jatuh menemani kehancurannya
Dan sinar baskara menerangi kekalahannya
Pagi yang indah baginya sebelum ia menutup mata, selamanya.

-ooOoo-

Aku sedang mencoba puisi elegi di sini, puisi yang berpedoman pada ratapan dan kesedihan-kesedihan. Jadi, gimana menurutmu?

Komet dan AndromedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang