<<<>>>
Belum genap 2 x 24 jam, Olivia sudah muntah sebanyak sebelas kali. Untung, persediaan dimenhydrinate, ondansetron, serta beberapa tablet lain masih cukup banyak di laci. Diminumnya beberapa, seusai balik dari kamar mandi ke tempat tidur.
Berada di dalam ruangan kecil membuat pikirannya sempit. Suara deburan air dari luar yang beberapa kali menggelegak membentur dinding, membuatnya merasa lebih baik turun saja dari kapal ini, jika saja di luar tidak sedang hujan—lebih-lebih apabila mereka tidak sedang berada di tengah hamparan lautan antah-berantah.
Ingin tidur pun tidak nyenyak. Pasalnya Olivia sama sekali tak terbiasa dengan kondisi semacam ini. Ditambah lagi, keberadaannya seperti benda transparan. Beruntung masih ada kesibukan yang bisa ia kerjakan selain membaca referensi dari beberapa buku ilmiah yang ia bawa. Itu pun hampir tidak ada, selain hanya membantu membuat sarapan dan makan malam untuk kru yang jumlahnya juga tidak terlalu banyak.
Olivia mengatur laju napasnya, hampir saja muak dan menyerah. Di saat seperti inilah, sealun lagu chillout, serta setumpuk foto yang mengudar dari dalam jepitan halaman buku agenda mengembalikannya ke alur yang benar. Raut riang Emily di hari ulang tahun yang keempat, Moza menggandeng tangan gadis manis tersebut di sana, dan Olivia tampak sedikit kesusahan mengarahkan kamera depan ponsel demi menangkap tiga orang di dalam satu bingkai. Tidak ada yang lucu dari imaji itu, namun Olivia tertawa, mengingat setelah sesi foto, ia terjatuh dengan konyol karena hilang keseimbangan. Beberapa lembar momen candid sebelum hari itu pun turut membuatnya menyimpulkan senyum.
Betapa banyak perjalanan yang telah Olivia tempuh. Tak terhitung pengorbanan yang telah ia berikan. Tak terkecuali Daniel, yang potretnya kini tengah tersenyum padanya, menggendong bayi Emily. Serta kedua orang tua yang tak pernah lagi bisa ia sentuh fisiknya, senyata kertas gilap yang ada di tangannya. Tiap gambar terasa seperti kemarin lusa. Dan bukan berarti gemar mengoyak luka lama, Olivia hanya ingin ingat, bahwa ia di sini bukan karena siapa-siapa, melainkan atas sebab keinginannya sendiri. Jalur berkelit yang ia amini.
Tanpa sadar, wanita berambut hitam yang aslinya panjang tanpa gelungan tersebut menghabiskan beberapa jam berikutnya untuk tidur—sebelum ia terbangun kaget sesaat setelah listrik padam. Selain hawa dingin dan udara yang seakan menciut mencengkeram, atmosfer gelap gulita membuat denyut nadi Olivia naik seketika. Tangannya refleks mencari telepon genggam di meja, berharap nyala layarnya akan membantu, tanpa memedulikan beberapa barang yang jatuh berdentang ke lantai. Sialnya, wanita itu justru harus menahan rasa pusing berputar yang secara spontan terjadi karena matanya benar-benar tak bisa menangkap apa-apa—atau mungkin kali ini diakibatkan oleh gempa? Ada ide untuk membuka jendela, namun sebelum ia berhasil melakukannya, satu hentakan membuat tubuhnya oleng ke belakang. Ia mendesis karena tulang tengkoraknya beradu dengan meja. Olivia berspekulasi ia akan pingsan karena palpitasi dan hipoperfusi barusan. Nyatanya, kesadarannya masih utuh, walau penglihatannya masih belum beradaptasi. Telinganya masih jelas mendengar suara teriakan orang-orang dari luar. Dengan terhuyung-huyung, Olivia bangun dan berlari menuju pintu. Untungnya kunci akan otomatis membuka saat pemadaman berlangsung, sehingga memungkinkan daunnya digeser secara manual. Diterangi oleh sorot lampu senter dari berbagai arah, ia baru sadar kalau kapal yang ditumpanginya miring dan tidak stabil. Beberapa benda bergeser ke samping, membuatnya membayangkan skenario terburuk yang tak pernah ia harapkan.
"Apa yang terjadi?!"
"Banyak! Yang jelas kita tenggelam!" jawab seorang pria gendut berjenggot yang lewat. Kemudian ia lari ke arah kanan, begitu pula dengan orang-orang yang lain. Mereka pasti menuju dek bawah untuk persiapan evakuasi, sesuai dengan instruksi suara rekaman yang diulang-ulang lewat loudspeaker. Olivia hendak mengikuti, namun tangannya sudah dikekang duluan oleh seseorang—Digg. Tanpa babibu, pria berambut tipis itu menarik tubuh Olivia ke tempat lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
HEXAGON [2] | Singularitas Hitam Putih ✅
Science FictionDi saat ilmu pengetahuan memperbudak otak, hanya sedikit manusia yang memercayai intuisi dan ramalan. Sembilan tahun sebelum kelahiran Hexagon, bumi mengalami trauma mayor. Nubuat itu akhirnya terbukti. Peradaban runtuh, neraka termanifestasi, dan s...