Di saat ilmu pengetahuan memperbudak otak, hanya sedikit manusia yang memercayai intuisi dan ramalan.
Sembilan tahun sebelum kelahiran Hexagon, bumi mengalami trauma mayor. Nubuat itu akhirnya terbukti. Peradaban runtuh, neraka termanifestasi, dan s...
Nathan mematung selama sekian detik, berpikir bahwa usahanya memperbaiki keadaan telah pupus. Polisi yang terakhir melewati pintu kaca, sambil menurunkan senjata. Ia tersenyum singkat, menyelongsongi pistol di ikat pinggang. Tangan kiri si polisi segera merogoh saku jas hitam, sementara kedua tangan Nathan terulur dengan putus asa di hadapannya, siap untuk diborgol. Namun di luar dugaan, polisi tadi malah menaruh sebongkah batu hitam kecil pada tangan Nathan yang menengadah.
Batu itu membuat Nathan terkesima, sekaligus kebingungan dengan ekspresi polisi yang kini menatapnya tajam. "Pergilah," ucap pria itu cepat di balik kumis tebal, "kalian berdua tidak sendiri. Kau akan mendapat bantuan. Datanglah ke pelabuhan saat dini hari."
Polisi itu mengenakan kembali kacamata hitamnya sambil memberi isyarat untuk mengikuti keluar melalui balkon. Walaupun sebenarnya si polisi tampak enggan bicara, Nathan tidak bisa menekan rasa ingin tahunya. "Kalian ini siapa? Dan benda apa ini?" tanyanya saat mereka tiba di tepi anjungan. Dari ketinggian seperti ini, tak mungkin polisi itu menyuruh Nathan melompat, bukan?
Pertanyaan itu segera terjawab oleh empasan angin yang datang dari arah Barat, bersamaan dengan badan helikopter yang semakin mendekat.
"Pergilah!"
Tangan Nathan segera diraih dan tubuhnya dinaikkan ke dalam kabin. Tak banyak yang bisa Nathan temui di sana. Hanya ada seorang pilot yang merokok, dan beberapa tas duffle di belakang. "Ke mana kita pergi?"
Sang pilot tertawa seperti orang mabuk. "Tenanglah sedikit, Dok! One in a moment." Lantas pria berewok itu melempar sebotol bir. Bukan merek lokal. Logat asing. Jadi orang-orang ini dari mana?
"Maaf, aku tidak minum."
"Oh, ya?" Pilot itu sesekali menekan tombol dan menarik tuas. "Katanya manusia tidak bisa bertahan hidup kalau tidak minum?" ejeknya. "Dan sori, kami tidak punya jus apel."
Asap rokok dan musik garang membuat ruang itu serasa penuh. "Omong-omong, namaku Jose. Perjalanan kita masih lama, jadi buat dirimu nyaman."
Batin Nathan bergejolak. Dia tahu otaknya sangat butuh depresan di saat-saat seperti ini. Akhirnya dia menenggak alkohol itu dan hampir memuntahkannya secara bersamaan. Pria di sebelahnya justru tertawa. "Sori lagi, aku mengganti isinya dengan Tequila."
Nathan masih terbatuk-batuk sambil mengusap bibir dengan lengan baju. "Jadi, kau mau menjelaskan apa yang sedang terjadi? Dan—dan siapa kalian?"
Jose membuang puntung rokok setelah menyesapnya untuk terakhir kali. Lantas membuangnya ke luar dan menutup jendela. "Kau adalah ilmuwan. Entahlah, bisa percaya kata-kataku atau tidak, ya."
Persetan. Nathan mungkin harus bersiap untuk hal yang lebih aneh daripada transducer.
"Aku bertemu dengannya di dalam mimpi. Dia menceritakan bahwa aku adalah salah satu dari yang terpilih. Itu menjawab kegelisahanku selama ini—bahwa aku memiliki hubungan khusus dengan alkohol. Kau tahu, kupikir aku terlalu lama bekerja menjadi bartender sampai-sampai pikiranku kacau," guraunya ramah.
Jika dikumpulkan, Nathan mungkin akan mendiagnosis orang ini memiliki gangguan waham. Namun dia harus menepis pikiran itu. "Apa yang bisa kau lakukan dengan alkohol?"
"Aku bisa mengendalikannya, mengubah air menjadi alkohol, bahkan bisa 'menjadi' alkohol itu sendiri."
Pernyataan terakhir membuat Nathan bergidik seketika. "Bisakah kau ... keluar dari tubuhku?"
Jose tertawa jenaka. "Untuk apa aku mengendalikanmu. Kita di pihak yang sama, Dokter."
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.