4 | Citadel (part 4)

6.1K 727 70
                                    

Sepertnya part ini lebih asyik kalo dibaca malam-malam. Tapi siang-siang pun tak masalah. Buktinya saya nulisnya juga waktu mau bobo ciang, hehehe.

====================================================


"Apakah ayah yakin tindakan ini sudah benar?"

Di sebuah ruangan bergaya kerajaan Eropa klasik, Cedric menutup pintu besar dari dalam dan berjalan menghampiri pria botak yang sedang duduk-duduk di dekat jendela. Wajah Cedric tampak kalut dan takut. Ia hanya berani memandang lurus dari samping ekspresi ayahnya yang termenung menatap hamparan kehidupan Citadel pada ketinggian sepuluh lantai.

"Kau sudah dengar alasanku. Tidak perlu kupertegas."

"Bukan alasan, Ayah. Tetapi aku memikirkan hasil akhir."

"Kau perlu banyak belajar untuk memikirkan proses, Cedric. Daripada terjebak dalam alasan di masa lalu dan hasil di masa depan, peganglah satu prinsip! Prinsip ini demi kebaikan kita juga. Orang yang berpandangan hidup untuk bersenang-senang seperti Qabus akan berakhir buruk. Orang yang kurang tegas dan plin-plan seperti Felicia juga akan berakhir dengan nasib yang sama. Sebaiknya kita tidak membiarkan mereka menghalangi jalur yang akan kita bangun. Kita akan lihat bagaimana mereka akhirnya belajar."

Pria pirang berbadan sedikit gemuk itu kicep tiap kali ayahnya ngomong soal prinsip. Cedric tak tahu prinsip apa yang sedang ia pegang. Bahkan di usia 32-nya kini, ia masih saja merasa ada yang timpang.

King Adras tetap bergeming di kursi, tidak mau menatap wajah anaknya. Dan kini ia pun melanjutkan, "Hasil akhir. Sebaik apa pun prediksi kita, ia akan tetap punya dua kemungkinan--berhasil atau gagal. Hanya dengan keteguhan dan kegigihanlah kita bisa meminimalisir angka kegagalan. Semangat ini perlu diciptakan dari cita-cita. Yaitu membawa generasi yang kita pegang menuju utopia. Masyarakat yang teratur dan jauh lebih baik dari sebelumnya."

"Tapi, aku rasa ayah terlalu ...."

Akhirnya King Adras berdiri, namun kali ini dengan wajah penuh amarah. "Disiplin adalah kuncinya, Cedric! Kau masih belum mengerti juga kenapa aku membiarkan hal ini terjadi? Karena manusia yang telanjur keras kepala seperti mereka berdua sangat susah untuk menerima pandangan baru. Walaupun itu benar sekali pun."

Sepeninggal sang ayah dari ruang pribadi itu, Cedric hanya bisa menghela napas. Ia telah membenarkan dugaannya. Bahwa peserta magang tetap tidak punya hak untuk memberikan saran kepada supervisor. Cedric patut mawas diri pada posisinya saat ini. Dan dengan begitu, ia sudah bisa memastikan apa yang akan terjadi selanjutnya.

Sore itu Menteri Felicia Brunner memberikan wajahnya kepada publik. Begitu banyak hal yang harus wanita tua berpenampilan anggun tersebut sampaikan dalam sepenggal pengumuman. Sebelumnya ia sudah pernah menggugat King Adras di meja konferensi. Dan kali ini, kesempatan yang telah diusahakan oleh Menteri Qabus setidaknya harus bisa ia manfaatkan. "Seperti yang kita ketahui bahwa King Adras telah menetapkan Unicorn Project sebagai dasar negara, dan akan segera merealisasikan perubahan Citadel menjadi United State of Soteria.

"Saya telah mendengar dari beberapa pihak yang tidak menyetujui hal ini. Oleh sebab itu, untuk menghindari bentrok, saya, Felicia Brunner menawarkan kepada seluruh masyarakat Citadel untuk mencari nilai spiritualitas tersendiri di dalam negara baru yang menjunjung tinggi harmoni dan ketenteraman. Bersama Euthania, keanekaragaman kepercayaan dan budaya tidak akan lagi menjadi suatu masalah. Terima kasih."

Kini giliran Qabus tampil dengan gayanya yang kontradiktif. Garang dengan rambut sasak dan jenggot tebal, namun tetap terlihat santai dengan mata sayu dan tubuh gemuknya. "Tidak perlu cemas memikirkan dua keputusan besar yang sangat berbeda jurusan ini. Saya juga pusing ketika harus memilih dunia mana yang akan saya tempati. Tetapi karena saya sudah diberi kesempatan, di sinilah Qabus Al-Ahwasy mengajak kalian untuk menemukan kehidupan lain yang lebih menyenangkan di pulau Ares. Pernahkah Anda membayangkan suatu tempat dengan pantai, gunung, dan wisata gurun yang sangat indah dan menjanjikan sumber pencaharian sekaligus sebagai sarana rekreasi? Sementara parade musik, makanan, dan hotel selalu hidup 24 jam, tanpa henti? So, let's create our wonderland."

Dan begitulah guncangan di dalam tubuh Citadel mulai dilonggarkan. Diganti dengan kebimbangan separasi tiga sekat. Pertama Soteria, kedua Euthania, dan ketiga adalah Ares. Manakah di antaranya yang akan mendapatkan banyak pengikut?

<<<>>>

Televisi masih menyala di dalam kamar apartemen Olivia. Wanita itu menyangga dagu pada pinggiran sofa dengan malas. Mata biru mudanya hanya menangkap bayang-bayang rekaan yang tampil tanpa bisa memaknai dengan bantuan otak. Belakangan akibat banyaknya pilihan ia jadi berpikir, andai hidup bisa dinikmati sebagai seutas kaset film, Olivia tentu lebih suka untuk menontonnya saja. Daripada harus menjadi aktris yang gemar berpura-pura di balik gejolak kotak persegi itu. Dengan begitu ia akan menganggap kebohongan adalah suatu kenyataan, dan bisa juga vice versa.

Pikirannya yang terbang-terbangan pun seketika kembali, begitu ada suara gaduh dari belakang. Seperti suara beberapa buku yang jatuh dan berserakan di lantai. Hal itu dibuktikan dengan mata Olivia yang kini menatap terkejut ke arah rak di samping dipan. Tangan Emily masih berusaha meraih sesuatu di atas sana.

Olivia segera mendatangi gadis kecil itu dan menangkap sebuah buku persegi bergambar karikatur fantasi yang indah dari dalam rak. Entah bagaimana buku yang dianggapnya aneh ini sangat diminati oleh anak seusia Emily. "Sudah kubilang jangan ceroboh," tuturnya sedikit marah pada Emily, tapi buru-buru ia mengerling dan bergumam, "ah lain kali akan kutaruh di tempat lain."

Emily turun meloncat dari dipan datar ke kasur mengikuti gerakan tangan Olivia yang menurunkan buku dongeng itu. Wanita seperempat abad tersebut mematikan televisi sebentar, mematikan beberapa lampu yang tidak penting dan kembali menemukan Emily dengan antusiasmenya, membuka lembar demi lembar buku ajaib itu. "Bisakah aku membawanya ke rumah Moza kapan-kapan?"

Olivia menggeleng cemberut. "No ..., kamu tidak boleh terlalu banyak membaca buku khayalan seperti ini, Emily." Wanita itu menggeser tubuhnya untuk memeluk dan merapikan posisi Emily di atas kasur. "Tahun depan setelah kita merayakan ulang tahunmu yang keempat, kamu akan bersekolah. Seharusnya kamu belajar berhitung sekarang. Aku sudah membelikanmu buku Matematika." Sayang sekali gadis yang dielus rambutnya dan diajak bicara itu tak menunjukkan respon yang signifikan. Justru ia sekarang sedang menyiapkan daftar pertanyaan di dalam otak setelah menyelesaikan bacaannya.

"Kenapa Pandora membuka kotaknya? Seharusnya dia tidak melakukannya, Mom!"

Olivia berpikir untuk menemukan jawaban yang pas. Tentu yang ia inginkan adalah hal yang gamblang dan rasional, daripada ikut terjebak dalam kreasi orang-orang Yunani berjenggot putih. "Setiap orang tentu punya keingintahuan, Emily. Punyamu bahkan sangat besar sampai aku kadang kewalahan menjawabnya."

"Tapi dia sudah diperingatkan oleh dewa supaya tidak membukanya."

"Aku juga sudah memperingatkanmu agar tidak mengambil buku itu lagi dari rak atas."

Emily menggembungkan pipinya membuat Olivia ingin ketawa. "Tapi aku tidak membiarkan roh jahat keluar seperti Pandora!"

"Ya ... mungkin, tapi bisa saja hal buruk yang tidak terlihat keluar ketika kamu membuka buku ini." Olivia bermaksud menakut-nakuti, tapi Emily tetap membalik halaman-halaman itu dengan penasaran.

"Apakah aku terlihat seperti Pandora?"

Olivia tertawa kecil, lantas menunjukkan awal cerita Pandora di buku bergambar itu. "Lihat, Pandora adalah manusia perempuan pertama. Cantik. Diciptakan Zeus untuk membalas dendamnya kepada Prometheus. Nah, sekarang kamu bukan manusia perempuan pertama, walaupun kamu cantik. Bukan pula diciptakan untuk membalas dendam. Jadi, kau sudah tahu bedanya, kan?"

Gadis itu akhirnya mengangguk dan Olivia menutup bukunya begitu mendapati Emily menguap. Redup telah menyelimuti ruangan dan keheningan menyusun rasa nyaman. Malam itu, Emily terlelap dalam pelukan ibunya.

<<<>>>    

HEXAGON [2] | Singularitas Hitam Putih ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang