35 | La Guerra de Guerrillas (part 4)

1.3K 263 58
                                    

<<<>>>

Suara kepak sayap terdengar dari luar. Tangan kanan anak kecil terulur, menjadi tempat bertengger kaki-kaki mungil seekor burung. Sementara tangan kirinya menyangga dagu di mulut jendela. Langit siang di atas sana berwarna biru tua, persis seperti iris mata anak itu. Di antara sepoi-sepoi angina, merpati putih meluncur dan terbang kaku. Dua setengah detik kemudian kembali ke jari pemiliknya. Begitu terus, sampai si anak kecil bosan dan berhenti memainkan mesin berbentuk hewan tersebut.

Di saat jam sudah menunjukkan waktu dua belas lebih lima belas, itulah saat baginya beranjak keluar. Setelah celangak-celinguk sebentar di depan kamar, kakinya menapak dengan hati-hati, seolah lantai marmer mengilap bermotif itu bisa meledak. Merasa aman, anak itu segera lari menyusuri lorong-lorong rumah yang terasa sangat besar baginya. Sebisa mungkin berlindung di balik tembok, menghindari beberapa pelayan yang belum selesai menyapu dan merapikan meja makan.

Tidak ada orang di taman depan, kecuali Warren, si asisten tukang kebun yang cuma kelihatan punggung lebarnya. Tubuh gesit anak tadi segera melesat menembus pagar, membuat beberapa bunga Wisteria ungu tersangkut di rambut kuningnya. Pintu besi itu berderit. Warren menoleh tak acuh, mengira hanya angin yang lewat.

Gavan sudah hafal kapan harus pergi. Ajudan Wira pasti sedang istirahat, dan kedua orang tuanya juga mengira ia sedang tidur di kamar. Gavan masih melihat ke belakang—kastel putih megah dengan taman bunga yang berlebihan—sambil berlari dan tertawa lebar, sampai-sampai tak sadar ada tubuh orang dewasa yang menghadang jalan. Gavan hampir terpental jika tidak ditangkap oleh tangan pria yang ditabraknya. Anak kecil itu harus melongok ke atas untuk melihat wajah penuh amarah. Nyali Gavan menciut. Hanya seorang Wira yang berhasil menaklukkan Gavan, bahkan Cedric dan Adras pun tidak. Sejak saat itu, mulut kecil Gavan terus mengerucut, bahkan sesudah ia diseret kembali ke kamar.

Dalam seminggu terakhir, Wira telah mempelajari kebiasaan menghilang Gavan tiap kali harus tidur siang. Biasanya di jam-jam begini, Wira akan terus khawatir karena sang pangeran selalu lolos dan kabur ke hutan. Masalahnya, tempat itu di luar batas patroli polisi, dan Wira tak bisa meninggalkan istana karena di saat bersamaan harus menjaga Galant—pun agar tidak membuat pihak istana curiga dan panik. Kalau sudah begitu, Wira hanya bisa menunggu Gavan pulang sendiri. Atau menelepon bawahannya untuk mencari.

Ajudan polisi berkulit sawo matang itu menutup pintu kamar Gavan pelan. Garis hitam tebal di atas mata cokelatnya tak curam seperti tadi. Melihat sosok mungil yang terus memandang ke luar jendela, sedikit mengingatkannya dengan anaknya sendiri. Ironi, ketika Wira selalu dipaksa untuk menjadi pelindung, baik sebagai ayah, maupun pelayan raja. Dan lama-kelamaan naluri itu tercampur sendiri. Kekhawatiran yang sangat besar ketika tahu makhluk-makhluk yang rapuh itu pergi ke dunia kejam di luar sana.

Bukan termasuk anak yang gampang menyerah, suatu hari, Gavan memutuskan untuk melibatkan adiknya dalam rencana.

"Aku akan tunjukkan kepadamu sesuatu," katanya, seolah berbicara dengan pantulan di cermin. Kedua anak itu sangat mirip, hanya saja adik Gavan lebih kurus dan pipinya berlesung ketika mengangkat sudut bibir, penasaran.

"Apa?"

"Tidak di sini. Ayo ke hutan!"

Buru-buru Gavan menarik lengan adiknya. Tetapi buru-buru juga adiknya menarik tangan ketika mereka mau turun dari kasur. Padahal ini kesempatan yang bagus, Warren sedang libur, jadi taman depan akan kosong. "Kita harusnya tidur siang, tidak boleh keluar!"

Gavan membekap mulut adiknya dengan brutal, gara-gara ia tadi nyaris berteriak.

"Sssst, tenanglah, Gale!" bisiknya heboh. Ia celingukan sebentar sambil melepaskan mulut Galant. "Ini cuma sebentar. Tidak sampai sepuluh menit."

HEXAGON [2] | Singularitas Hitam Putih ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang