25 | Naissance (part 6)

2.9K 377 125
                                    

<<<>>>

"Kau ada waktu malam ini?" Gelagat yang tidak menyenangkan tiba-tiba datang dari Hans. Cedric menatap bingung wajah sahabatnya itu di selasar, di tengah hiruk pikuk kegiatan administrasi negara. Ia jadi harus mengartikan gurat kekesalan yang sedang Hans coba kendalikan saat ini.

"Aku minta maaf Hans, kalau ada sesuatu yang ingin kau katakan, kita masih punya sisa jam makan siang, setengah jam sebelum rapat evaluasi dimulai," tolaknya halus.

"Oke, di sini saja kalau begitu," Hans memperbaiki posisi berdirinya, sedikit berkacak pinggang dan menajamkan mata, "menurutmu, apakah yang kau lakukan bersama peserta magang wanita itu adalah sesuatu yang profesional, ha?"

Cedric kini berani menyimpulkan bahwa Hans menyalahartikan, dan tersinggung atas kedekatannya dengan Olivia. Cedric setengah menertawai pria itu, "Kau serius? Aku adalah satu-satunya orang yang mendukung dia untuk melanjutkan penelitian ini. Yang kulakukan tidaklah berlebihan."

Wajah Hans sedikit melunak. "Why? Apa alasanmu? Karena dia cantik dan menarik, ha?"

Cedric tersenyum simpul, sedikit bernostalgia dalam pikirannya sendiri. "Mungkin karena sejak awal bertemu, aku sudah yakin dia memegang kunci dari kemelut yang akan terjadi."

"Kau tidak bisa menilai orang dengan cara seperti itu," tolak Hans mentah-mentah, sementara Cedric cuma mengangkat bahu. "Aku menganggap ini sebagai sesuatu yang serius, Ced." Hans merengek tidak terima ketika rekannya itu malah menyelonong pergi. Lantas mengejar si pirang menuju ruang pertemuan.

"Negara ini butuh inovator yang tidak berkiblat terhadap uang, itu alasanku. Kau tak perlu khawatir." Cedric melambaikan tangan, tak terkejar, sebab telah masuk ruangan. Hans pun memutuskan untuk tidak mendesaknya lagi. Perilaku Cedric yang bermuka dua membuatnya harus terus bersabar.

<<<>>>

Di tepian rel kereta api, langkah kaki Kendrick menggelayut malas. Debu berserakan di sekitar sepatunya yang kelihatan dekil. Tak lama, klakson berbunyi dari jauh, diikuti dengan turunnya palang pintu pengaman serta berderingnya bel peringatan. Pria itu mundur sedikit lalu menyaksikan rangkaian gerbong seri melaju kencang melalui sepasang mata abunya. Angin tergiring menembusi sela rambut dan baju, serta menciptakan efek doppler yang khas di telinga. Serta-merta, kehadiran wanita berambut hitam lurus di seberang membuatnya terpana. Wanita itu tersenyum tipis, misterius seperti biasa. Kendrick mulai berjalan setelah buntut kereta api melintas dan jalan di depannya kembali terbuka.

Kedua manusia itu berjalan beriringan. Sudah barang tentu, jika Kendrick bukan yang membuka percakapan.

"Mengapa kau begitu ingin mengunjungi tempatku?"

Setelah ber-hmm agak panjang, Kendrick menjawab, "Kupikir aku tidak pernah keluar, kecuali sendirian. Tidak banyak teman yang aku dapatkan di lingkunganku."

"Ah ... pantas kau kesepian. Kau juga tidak punya saudara?"

"Nope, they're already dead," ucapnya culas, membuat lawan bicaranya mau bertanya lagi, namun segera dialih-topikkan oleh Kendrick, "Berapa lama jalan dari sini?"

"Tidak jauh. Kau lihat rumah-rumah di sana itu, itu adalah perkampungan kami."

Horizon mengangkat rebahan hutan yang masih hidup, sebelum matahari tenggelam turun. Barisan pohon berderet meninggi terselipi puluhan rumah pondok, mulai tersisa siluetnya. Lampu-lampu kuning menyala sebagai tanda gelapnya masa. Memasuki kawasan tersebut menimbulkan perasaan yang berbeda bagi Kendrick selaku anak kota. Udara padat menyesakkan yang biasa ia hirup kini terasa longgar. Jalanan sekitar yang mereka lewati pun juga mulai berganti. Semak-semak semakin tinggi dan kerikil makin banyak mengganjali pijakan.

HEXAGON [2] | Singularitas Hitam Putih ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang