49 | Singularitas Hitam Putih (part 2)

1K 189 19
                                    

Keduanya meluncur dengan mobil Averus saat gelap. "Ini gila. Seolah kita diframe untuk menjadi orang jahat!"

Nathan melingkarkan sabuk pengaman ke perutnya. "Ya, si perdana menteri licik itu memeras dan memaksaku menebus kesalahan. Dan aku juga tahu kau tidak akan membunuh Frans."

"Itu bodoh! Tidak mungkin!" teriak Averus sambil memutar-mutar kemudi. "Bahkan listrikku pun tidak menyentuh tubuhnya seinci pun."

"Orang-orang tadi memberiku data forensik yang tidak disebarluaskan." Nathan memperlihatkan sekilas layar tabletnya yang menggarisbawahi hasil toksikologi. "Frans mati karena racun. Jadi, pembunuhannya telah direkayasa."

"I knew it!" Averus memukul dasbornya sendiri. Ia pun segera mengumpat. Kesal yang bertumpuk antara berita besar, meja mobil yang penyok, dan tangan yang ngilu. "Oya, siapa sebenarnya orang-orang ini, dan kenapa kau bisa langsung percaya, Nate?"

Nathan mengeluarkan batu hitamnya. "Merekalah yang menyelamatkanku dari Soteria, serta membawaku ke mari."

"Dan ... mereka benar-benar melakukan sesuatu pada keluargamu?"

"Sebelum turun, aku melakukan panggilan video ke Pitta. Dia dan Tama aman di tempat penampungan warga," jawab Nathan sambil mengangkat batu hitam yang sekarang ia kaitkan menjadi gantungan kunci. "Kurasa Hexagon bukanlah seperti apa yang kita pikirkan. Ada dua sisi: hitam dan putih. Dan kini aku semakin percaya itu. Mungkin awalnya dia adalah asteroid pembawa bencana bagi kita, tetapi Olivia mengubahnya menjadi sumber energi yang bisa membangun peradaban. Walaupun sekarang ia kembali menjadi ancaman bagi dunia. Namun, aku yakin kita masih bisa mengubah keadaan itu lagi. Suatu saat."

Averus mulai paham dan menyeringai puas. "Oh, boy ... kau membuat ini menjadi keren! Kupikir kau sudah kehilangan otak warasmu karena bersama orang-orang yang super creepy tadi."

"Jangan mudah percaya penampilan. Hitam tidak selamanya buruk, Averus."

Sekitar dua belas menit, Averus baru menepikan mobilnya. Langit malam yang hitam pekat, kabut tipis, dan ilalang tinggi membuat pandangan Nathan terbatas. Ditemani suara jangkrik, mereka berdua membelah rerumputan yang masih hijau, hingga sampai di sebuah gubuk kecil tanpa penerangan. Averus memang tadinya izin untuk mengemasi barang-barang, dan ia melakukannya sekarang.

"Tempat persembunyian yang bagus. Aku jadi ingat laboratorium mini kita," ucap Nathan sedikit bernostalgia dengan botol-botol kaca.

Averus tertawa singkat. "Aku tidak bisa diam saja. But it's freaking hell! Barang-barang ini membuatku kesusahan makan selama beberapa minggu. Yang lebih menyebalkan lagi, hasil risetku tidak memuaskan. How about yours?"

Nathan menghela napas panjang, memandangi sekilas Averus yang memasukkan beberapa barang ke dalam tas dan saku jasnya. "Transducer ini," ujarnya, "ternyata tidak semua orang bisa. Kau mungkin saja mati atau, menjadi sinting saat pertama kali menggunakan kekuatan dari kristal itu."

"Kurasa lebih enak menjadi sinting atau mati sekalian ya," seloroh si rambut ungu.

"Masa? Kau kan selalu ingin menjadi pahlawan. Dan mana koleksi buku komikmu itu sekarang?" Nathan merapikan gelas beker ke tempatnya.

"Oh, omong-omong soal transducer, aku jadi ingat kalian selalu membicarakan satu orang...."

"Jon Stuart," jawab Nathan, menghentikan putaran telunjuk Averus saat mengingat-ingat. "Dia adalah penyintas dari proyek 66, yang sepertinya memilih berpihak kepada Soteria. Dia tak hanya bisa mengendalikan Hexagon, tapi bisa mengendalikan diri juga. Sama sepertimu."

"Begitu. Kudengar proyek 66 memang memakan banyak sekali korban dalam percobaannya. Walaupun proyek itu bisa dikatakan berhasil, karena Soteria jadi babak belur seperti sekarang, tapi Jon Stuart tetaplah anomali. Orang-orang dengan jaket hitam ini berusaha merekrut transducer untuk melawan Ares kembali, kan?"

Nathan mengangguk, menyetujui kesimpulan Averus.

<<<>>>

Cedric berkumpul bersama keluarganya di dalam gedung pemerintahan—satu-satunya bangunan yang masih menjulang tinggi dan dipertahankan hingga titik darah penghabisan. Ia bahkan tak sanggup membuka gorden jendela untuk melihat betapa rusaknya Kota Pasithea.

Perdana menteri Hans sudah ada di gawang pintu yang terbuka. "Masa ultimatum kita telah berakhir."

Cedric meremat jemari Kadisia, seolah meminta kekuatan darinya. "Ya, kita lakukan saja."

Mata Cedric hanya menatap lurus, mengulas kembali momen tadi pagi, saat dia masih sempat mengunjungi rumah tahanan Olivia. Mungkin untuk yang terakhir kali. Cedric hanya bisa mengamati dari jauh, perempuan yang tak mau mengeluarkan suaranya sedikit pun.

<<<>>>

"Kita harus kembali!"

"Tidak, sebelum aku memastikan Immata dan Arvin selamat."

"Mereka sudah mengurusnya, Averus!"

"Nope, aku belum percaya seratus persen. Polisi telah berhasil mendapatkan nomorku, alamat kami, dan ... dan Immata memutus telepon tanpa mendengarkan perkataanku!"

"Ini jelas jebakan mereka! Lalu sekarang apa?! Kau hanya akan membahayakan diri sendiri."

Tikungan tajam pun bahkan tak menjadi hambatan. Mobil biru telur asin itu melejang tanpa bisa berkompromi. Nathan dengan cemas sesekali melihat ke belakang, barangkali ada yang mengikuti.

Akhirnya, sampailah mereka di rumah yang dimaksud. Nathan sempat mendebat tindakan ceroboh itu sekali lagi. Namun, ia tak bisa menunjukkan kepanikannya di depan Arvin. Di saat-saat seperti ini, Nathan harus merencanakan sesuatu. Terutama saat Averus terlalu lama berbicara dengan Immata, dan polisi pun betulan datang. Ia masih berusaha menghubungi Jose, saat Averus tahu-tahu menodonginya sebuah suntikan.

Semua hal berjalan dengan cepat dan memusingkan. Polisi Ares datang mengepung, dan seseorang menembak Immata dari pintu belakang. Keadaan tak kunjung membaik saat Nathan jatuh bangun melindungi Arvin menuju helikopter Jose. Ia terpaksa menembaki para polisi, dan tak peduli jika harus melanggar sumpah kedokterannya.

Saat baku kejar di dalam ladang jagung usai, satu hal yang Nathan kini mulai pahami, Averus memang tidak ingin selamat. Sejak awal, ia hanya peduli dengan Arvin, yang kini tergolek lemas di dalam gendongan Nathan. Averus bukanlah ayah yang jahat. Justru sebaliknya, ia tahu potensi anak itu, dan berusaha membangunnya, sebanyak yang ia bisa. Kini waktunya telah habis, tugasnya telah selesai. Hanya sampai di sini.

<<<>>>

Roket berukuran lima kali lipat badan pesawat menembus cakrawala, ke arah Barat, meninggalkan jejak lintasan di sepanjang garis khatulistiwa. Suara gemuruh dan pemandangan aneh membuat orang-orang sejenak melupakan pekerjaannya. Mereka takjub memandang angkasa yang seolah terbelah dua. Langit yang dilewatinya berubah dengan cepat, dari putih menjadi kelabu, dan akhirnya menghitam.

Seluruh kru DMPS menyaksikan prosesi peluncuran X-bomb dari layar monitor. Para operator berkoordinasi dengan kapten mereka. Hingga pada titik tertentu, dua tuas pun diputar bersamaan, dan ujung misil balistik itu segera terlontar dari badan roket. Dalam sepersekian juta detik berikutnya, saat lampu indikator berubah merah, letusan di dalam bejana sekunder pun terjadi. Percikan api menginisiasi bola uranium untuk melakukan reaksi nuklir berantai. Dan energi dari fisi ini digunakan untuk membentuk plasma, serta mengaktifkan senyawa kristal putih untuk melakukan reaksi fusi yang terakhir.

Tak ada waktu, bahkan untuk sekadar berkedip. Malam yang dingin tanpa cahaya bintang dan bulan itu, kini menjadi terang benderang. Matahari seolah muncul terlalu dini. Greg dan Emily sedang duduk di teras rumah bersama keluarga Moza, memandangi langit. Alarm kota kini terdengar sayup-sayup. Air mata Emily yang terakhir pun jatuh, bersamaan dengan menghamburnya rumput, pohon, rumah, dan jalanan di hadapannya. Saat mata itu tertutup sempurna, dunia kini menjadi sangat putih. Putih yang tenang, sekaligus memilukan.

<<<>>> 

HEXAGON [2] | Singularitas Hitam Putih ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang