41 | Patriarki (part 3)

1.2K 231 38
                                    

           

Immata bingung menyikapi suaminya. Akhir-akhir ini, pria itu uring-uringan. "Kita mau pindah ke mana? Seperti punya keluarga saja di sini."

Averus berhenti memasukkan beberapa benda ke dalam tas besar. Immata jelas tidak tahu apa-apa, makanya dia terlihat sangat santai. "Kita tak bisa tinggal di kota lagi. Biaya hidup di sini akan tambah mahal. Kau sudah dengar berita, 'kan?"

Istrinya malah menyeringai heran, "Bagaimana dengan sekolah Arvin? Usaha kateringku? Aku sudah mulai mendapat pelanggan di sini."

"Kita akan urus itu nanti, ya."

Immata jelas bisa membaca kepanikan di raut wajah Averus. Ayolah, walaupun hanya lulusan sekolah menengah, dia tidak sebodoh itu. "Kau masih bekerja dengan Stenver, ya, 'kan?"

Kaki Averus diam di tempat. Langkahnya tidak jadi keluar kamar. Ia menaruh tasnya, berbalik dari gawang pintu, dan menggenggam erat pundak istrinya. "Immata, ini tidak ada hubungannya dengan dr. Stenver."

"Aku tidak bisa kau bohongi lagi." Immata membuang muka. Ia tak yakin bisa lanjut bicara kalau melihat wajah suaminya terus. Air matanya mulai menggenang. "Kau tidak pernah mendengarkanku, Averus. Kau pikir siapa yang susah, waktu kamu sakit-sakitan, kerja di dua tempat sekaligus? Siapa yang tak tidur, ketika kamu dirawat berminggu-minggu di rumah sakit? Siapa yang paling ketakutan, begitu tahu kamu sekarat di Lab Cosmic? Berhentilah menjadi peneliti!"

Kalimat itu layaknya pedang yang menghunjam jantung Averus berkali-kali. Ia ingin memeluk istrinya, hanya saja terbersit rasa tidak pantas. Averus telah melanggar banyak sekali janji. Immata layak mendapatkan yang lebih baik.

"Oke, dengar, aku pergi justru untuk menghindari Stenver. Dia ada di ibu kota."

Averus yakin ini akan berhasil. Isakan Immata makin mereda. "Aku sudah dapat tawaran yang bagus. Rumah ini akan kita jual untuk keperluan di desa. Hidup kita akan jauh lebih tenang di sana." Immata mengulum bibir, selagi Averus mengecup keningnya.

Pagi itu, mereka mengangkut barang dengan pikap sewaan. Rumah Averus yang mungil ternyata cukup mahal di tangan seorang pengusaha kain. Bisa dibilang lokasi rumah itu memang sangat strategis untuk berwiraswasta. Immata menyayangkan pilihan itu, tetapi demi hidup yang tenang, ia rela mengorbankan apa pun. Mata hitam itu berpindah ke Arvin di jok belakang mobil. Immata jadi ikut tersenyum. Yang ada di dalam pikiran anak umur enam tahun itu hanyalah kebebasan. Nico tidak mungkin mengikutinya ke desa. Ini pasti akan sangat menyenangkan.

<<<>>>

Nathan terpaksa kembali bergulat dengan sampel darah dan sistem pengekstrak DNA selama beberapa hari ke depan. Sarung tangan lateks biru dia pakai setelah cuci tangan. Sementara matanya berkeliaran ke luar jendela, memastikan satuan polisi berbaju hitam masih menjaga tempat itu. Otaknya terpecah untuk menyelesaikan dua tugas bersama-sama. Pertama, dia harus menemukan penyandi yang bisa menyetop translasi pada GP-630i, syukur kalau bisa mengubah rangkaian kodon itu menjadi kembali normal tanpa menimbulkan bencana lain. Kedua, dia harus cari cara untuk menyelamatkan Averus. Dia mulai berpikir, alasan Soteria menganggap penemuan brilian ini gagal adalah Ares. Seharusnya Nathan sudah dapat nobel karena membuat dunia selangkah lebih maju. Tidak adil rasanya jika Olivia yang memenangkan penghargaan Konsorsium. Wanita itu cuma pergi liburan naik kapal sebentar, lalu pulang-pulang membawa Hexagon. Sementara jerih payah Nathan dan pengorbanan Averus menggelinding begitu saja.

Bisik-bisik dari luar ruangan sesekali bocor dan menggema lewat pintu kaca. Di depan mikroskop, Nathan memperlambat kerja dan fokus untuk mencuri dengar.

"Nomor ini terus menghubunginya. Haruskah aku mengangkat atau memberikannya?"

"Jangan. Disilent saja!"

Nathan yakin itu pasti nomor Averus yang sengaja tidak dia simpan. Artinya pria itu masih berkeluyuran di Ares.

"Oh, ya. Soal imigran di penampungan, kenapa mereka banyak sekali yang mengeluh sakit kepala, ya?"

"Mereka tidak punya uang. Barangkali pusing memikirkan utang."

Terdengar tawa menggelegar. Percakapan selanjutnya sama sekali tidak penting. Nathan menggeleng lantas lanjut bekerja.

<<<>>>

"Kau tahu tidak, orang dulu suka memakai kristal untuk menyembuhkan penyakit?"

"Aku sudah membaca tentang beberapa modifikasi reiki, makanya tanya ke kamu."

Bibir Young-seo membulat tanpa bersuara. Bukan Kendrick namanya kalau bicara tanpa dasar. "Oke, lalu kau tanya seolah aku ini penyihir yang paham telekinesis?"

"Ya ..., siapa tahu." Kendrick menggaruk kepala. "Aku bingung mau lari ke mana, sains tidak punya rumus untuk ini."

Young-seo menghela napas. Sedikit kesal, karena ini jam makan siang, ia telah menelantarkan banyak pelanggan. "Kenapa kau tiba-tiba terobsesi dengan itu?"

Mata Kendrick jatuh sayu. "Kurasa aku harus memahami kekuatan ini, demi membantu seseorang."

Pikirannya memelesat menuju Averus, pria berbadan bongsor yang saat ini sedang memegang ponsel bututnya dengan geram. Nathan tidak bisa dihubungi sama sekali. Ia curiga Soteria telah meyitanya. Averus terduduk di atas rumput. Di tepi lapangan, mobil biru telur miliknya terparkir. Sepoi-sepoi angin berusaha menerbangkan kemeja putih longgar dan rambut ungu itu. Saat ibu jari Averus mengusap layar, sebuah baris kontak muncul, seolah-olah menjelma menjadi jalan keluar. Wajah pria itu sedikit terangkat. Tanpa pikir panjang, ia menghubungi nama tersebut.

"Frans?"

"Buenas tardes. ¿Quién es?(*)"

"Ini aku, Averus. Maaf, aku perlu bertemu denganmu."

_______________________________

(*) Selamat siang. Siapa ini?

<<<>>>

Angin laut terasa seperti lahar. Orang-orang berseragam tentara memicingkan mata. Melawan sengatan matahari, dan sesekali melihat ke arah barat. Para perwira masih sibuk membawa tambang dan pelampung menuju kapal tempur. Mereka berteriak lekas-lekas, seolah musuh sudah dekat. Pesisir pantai sepanjang dua puluh kilo itu steril dari penduduk. Rumah-rumah panggung dipakai untuk markas darurat. Tempat bagi komodor dan kapten bercokol, menunggu komando dari pusat.

Citra satelit di ruang pemantau DMPS menampilkan peta waktu-nyata. Mereka bisa menyaksikan apa saja yang terjadi dalam radius dua ribu kilometer dari bibir laut. Dalam sepuluh jam terakhir, masih tidak ada tanda kehadiran pesawat asing. Mereka bersiaga sambil terus berkomunikasi. Jalur udara juga sudah terkendali berkat Marsekal Luigi. Lusinan helikopter dan pesawat pembawa rudal baru selesai dicek.

Hans mengurut keningnya di kursi dekat jendela. Banyak sekali informasi yang harus ia proses dalam waktu bersamaan. Kalau kepalanya terbuat dari balon, pasti sekarang sudah meletus.

"Sir!" seorang operator tiba-tiba berteriak dari kursi, "Kami mendapat laporan, para imigran Ares mengamuk dengan cara yang tidak wajar."

Hans berdiri, bertepatan dengan kedatangan Cedric dari pintu masuk.

"Sepertinya, mereka adalah transducer yang sedang kita tunggu."

Semua mata membelalak. Lengkap sudah. Saat yang bagus untuk meledakkan kepala Hans.

<<<>>>

HEXAGON [2] | Singularitas Hitam Putih ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang