BAB 2

14.8K 763 4
                                    

      "Aku hanya berharap ada seorang malaikat yang datang menemaniku di hari-hari buruk"

***

Aku memperhatikan Elisa yang sedang duduk sendirian di sebuah ayunan kecil sambil menatap sendu teman-teman seusianya yang di jemput oleh kedua orang tua mereka masing-masing. Sesekali Elisa ikut tersenyum ketika melihat seorang ibu yang sedang menggandeng anaknya. Walaupun aku tahu dibalik senyuman itu terdapat rasa iri yang ia rasakan sekarang.

"El?" panggilku sambil melangkah menghampirinya. Namun, Elisa tampak tak menggubris panggilanku, matanya terus memandang lurus ke gerbang sekolah. Seolah menunggu seseorang yang tak akan pernah datang.

"Elisa sayang.." panggil ku lagi.

"Kakak?" jawabnya dengan nada polosnya.

"Ayo pulang, Sayang." ajakku mencoba menggandeng tangannya. Tapi dengan cepat Elisa menarik tangannya kembali.

"Kenapa?" tanyaku bingung.

"Aku mau tunggu Mom sama Dad," ucapnya dengan nada keras kepala, matanya tetap tertuju ke gebang.

"Sayang, mereka nggak bakal jemput kamu," ucapku lirih,

"Gak mau, ihh lepasin!" rontanya. Suaranya mulai dipenuhi amarah dan kekecewaan.

Aku terdiam, menahan napas, kemudian mengambil ponsel untuk menghubungi Daddy. Jemariku bergerak cepat, berharap panggilan ini bisa menyelesaikan semuanya.

Tak butuh waktu lama, Daddy mengangkat teleponku. Suaranya terdengar biasa, tanpa ada tanda-tanda kesadaran akan kecewa yang sedang dirasakan Elisa.

"Dad??" suaraku sedikit meninggi, berharap kali ini ada solusi.

"Iya sayang, ada apa?" jawabnya dengan nada tergesa-gesa, seperti biasanya.

"El nggak mau pulang kalau bukan Daddy yang jemput," jelasku, mencoba meredam kekesalan yang semakin menumpuk.

"Kamu telpon Mommy kamu ya... Daddy lagi sibuk banget, tolong ya sayang."

"Tapi Dad..." belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, sambunga sudah terputus. Aku menatap layar ponsel dengan perasaan penuh campur aduk.

"Argghh!" desisku sambil menghentakkan kaki. Aku pun mencoba menelepon Mom.

'Nomor yang anda hubungi sedang sibuk, cobalah beberapa saat lagi.' Suara operator itu membuatku ingin berteriak

Mataku melotot kesal. Astaga! Aku benar-benar muak. Mereka benar-benar mementingkan diri mereka sendiri daripada anak-anaknya.

"Semuanya nggak bisa dihubungi!" teriakku frustasi.

Aku menghela napas singkat, kemudian menoleh pada Elisa. "El, ayo kita pulang. Mom sama Dad nggak bisa jemput kamu," ucapku, mencoba menenangkan suaraku selembut mungkin. Tapi, dia tetap membatu di tempatnya.

"Gak mau!" ucapnya tetap bersikukuh, bibirnya cemberut.

"El, please... ini udah siang, panas banget tau, ayo dong sayang.. kamu mau beli ice cream, coklat, cotton candy, atau cake? Apa aja deh," tawarku pada Elisa, berusaha menggunakan segala cara untuk membujuknya. Tapi ia hanya diam. Pandangannya hanya lurus kearah gerbang sekolah berharap Mommy dan Daddy tiba-tiba muncul di sana dan memeluknya. Meskipun kita berdua tahu itu mustahil.

"Elisa, c'mon jangan bikin kakak pusing!" ucapku memelas, aku sudah berada di ujung kesabaran.

Elisa menatapku, ekspresinya berubah serius. "Aku mau pulang, tapi beliin boneka teddy yang besar titik!" ucap nya sambil menyilangkan tangannya di dada.

HOME SWEET HOME [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang