"Sharin!" seseorang menahan lenganku. Aku terhenti, menatap tangan itu sebentar sebelum suaranya mengikutinya.
"Mau ke mana?" Raveno berdiri di belakangku, wajahnya serius dengan kening berkerut, seolah memahami raut wajahku yang kacau balau.
Aku tak menjawab. Perlahan, aku melepaskan tangannya dari lenganku, melanjutkan Langkah tanpa memperdulikan kehadirannya. Suasana hatiku saat ini benar-benar buruk dan sedang tidak berminat berinteraksi dengan siapa pun, termasuk Raveno.
Raveno terus mengikutiku, menyamakan langkahnya. "Kalo ditanya dijawab dong, cantik," katanya, mencoba terdengar ringan.
Aku mendengus. "Bisa diem gak? Gue lagi gak mood ngomong!" jawabku ketus, suaraku sedikit lemas. Rasanya seakan setiap kata yang keluar hanya menambah beban di hatiku.
Raveno terdiam sejenak, namun aku tahu dia masih mengikutiku. Langkah kakinya kini menyamai langkahku, seperti bayang-bayang yang tak bisa kutinggalkan.
Aku mempercepat Langkah menuju parkiran. Mobilku sudah terlihat, namun Raveno tetap tidak menyerah. Dia menarik lenganku lagi, kali ini lebih pelan.
"Lah, kok balik? Padahal gue mau jengukin Elisa," katanya dengan nada kecewa, matanya memandangku seolah bertanya apa yang sebenarnya terjadi.
Aku berdecak kesal. "Ya udah, jenguk aja. Gue males di sana banyak setan!"
Dia tertawa pelan, "Oh, rumah sakitnya horror, ya?" tanyanya setengah bercanda, mencoba mencairkan suasana.
Aku hanya menghela napas dalam. "Rav..." suaraku pelan, hampir seperti sebuah peringatan agar dia berhenti bercanda. Aku tidak sedang ingin mendengar permainan kata-katanya yang sudah biasa.
Raveno angkat tangan. "Iya, iya." Senyum konyolnya masih tersungging. "Mau ke mana? Gue ikut ya?"
Aku mendengus lagi, kali ini lebih kuat. "Ngintil gue mulu lo, kek babu!"
Dia hanya terkekeh. "Bukan babu dong, sayang. Tapi pacar," godanya, dengan nada yang membuatku ingin memutar bola mata.
Aku menatapnya dengan ekspresi jijik yang tak bisa kusembunyikan. "Najis!" jawabku cepat, tapi aku tahu dia tidak akan tersinggung.
Raveno tertawa lebih keras, lalu tiba-tiba mengeluarkan sebuah buket bunga dari balik punggungnya. Aku mengerutkan alis, bingung dengan aksinya yang tiba-tiba itu.
"Tadinya sih buat Elisa," katanya dengan senyum nakal di bibirnya, "Tapi kayaknya lo lebih butuh ini sekarang."
"Jenguk orang sakit tuh bawa makanan, bukan bunga! Lo pikir gue orang mati!" sindirku sinis.
"Huss! Gak boleh ngomong gitu, bunga kan gak harus buat orang mati," katanya sambil tersenyum lembut, meskipun kali ini nadanya terdengar lebih serius.
"Serah lo, deh!" jawabku malas. Kemudian, tanpa pikir panjang, aku melemparkan kunci mobil ke tangannya.
Raveno menangkapnya dengan mudah, lalu menatapku heran. "Kemana aja, deh, pokoknya bukan ke rumah!" kataku, berharap dia mengerti bahwa aku tidak ingin pulang.
Raveno menatapku lama, seolah memeriksa apa yang tersembunyi di balik kata-kataku, sebelum akhirnya tersenyum lagi. "Siap, cantik!" katanya dengan nada ceria, smabil membuka pintu mobil untukku seperti seorang sopir pribadi.
Aku hanya menggelengkan kepala. Lalu masuk ke dalam mobil tanpa sepatah kata lagi. Ketika mesin menyala, aku tahu, ke mana pun Raveno membawaku, itu akan lebih baik daripada berada di tempat ini. Terjebak di dalam pikiranku yang penuh amarah, kebencian, dan kesedihan.
***
Kami berada di tempat yang selalu menjadi kami sejak kecil, dan tempat biasa kami bermain badminton. Lapangan luas dengan rerumputan hijau, pepohonan yang rindang, dan pemandangan danau kecil dengan latar belakang gunung yang samar. Walau cuaca mendung, tempat ini tetap memancarkan kedamaian yang sama seperti dulu.
Aku duduk di bangku taman, membiarkan aingin sepoi-sepoi memenangkan pikiranku. Aku terlalu asyik menikmati suasana hingga tak sadar Raveno datang dengan dua es krim vanilla di tangannya.
"Nih!" katanya sambil menyodorkan satu ke arahku.
"Thanks!" jawabku singkat, mengambil es krim yang ia berikan. Kami kemudian diam, menikmati es krim masing-masing sambil memandangi sekitar tanpa berkata sepatah kata pun.
Tiba-tiba, Raveno berseru. "Eh liat tuh!"
aku menoleh cepat, mencari-cari apa yang ia maksud. "Apa? Mana?"
"Itu, pohonnya ijo!" jawabnya garing.
Aku mendengus kemudian menoyor kepalanya. "Ck, gak jelas lo, Rav!"
Raveno tertawa renyah, "Lagian ngelamun aja, mikirin apa sih?" tanyanya.
"Kepo lo!"
"Mikirin gue ya?" godanya sambil tersenyum nakal yang selalu sukses membuat jantungku berdebar.
Aku memutar bola mata. "Dih, kepedean banget!"
Dia menyipitkan matanya dengan senyum smirk-nya. "Jangan bohong? Kalo bohong hidungnya bolong, lho,"
"Di mana-mana mah, hidung bolong, Rav!" ucapku tertawa mendengar candaannya.
Raveno ikut tertawa keras. "Nah gitu dong, cantik! Dari kemarin suram banget muka lo," ujarnya sambil mengacak-acak rambutku.
Aku hanya tersenyum kecil. Jujur, momen inilah yang sejak kemarin aku rindukan. Beban di pundakku terasa lebih ringan jika bersamanya. Tapi, masih banyak keraguan dan sesuatu yang mengganjal dalam pikiranku.
"Rav?" panggilku sedikit ragu.
"Hmm?" jawabnya berdeham, ia masih sibuk menjilati es krimnya yang hampir habis.
"Gue mau nagih penjelasan lo soal kemarin,"
Raveno terdiam sejenak. Matanya menatap lurus ke depan, sebelum akhirnya menjawab. "Besok gue bakal jelasin."
"Harus besok? Kenapa gak sekarang aja?" tanyaku mengerutkan kening.
Dia menoleh, menatapku dengan tatapan serius yang jarang aku lihat dari wajahnya. " Ada hal-hal yang gue belum bisa ceritain sekarang. Gue janji, besok gue bakal ceritain semuanya. Tentang gue, tentang bokap gue, dan Tiara," ucapnya mencoba meyakinkanku.
Kata-katanya membuatku terdiam. Aku menatapnya curiga, namun aku tak menemukan sorot mencurigakan ataupun kebohongan di matanya. Akhirnya aku mengangguk pelan.
Aku beralih pandangan. "Fine, Gue tunggu!" jawabku datar.
Kenapa harus besok? Memangnya ada apa besok? Pikirku.
"Sip!" balasnya singkat kemudian melanjutkan menikmati es krimnya seolah semuanya biasa saja. Aku mendesah, sedikit kesal dengan reaksinya yang terlalu santai untuk persoalan kemarin.
Aku pun menancapkan es krimku yang tersisa ke wajahnya hingga belepotan. Raveno terpaku, menatapku dengan mata melebar. Sementara itu, tawaku meledak.
"What the hell?" ujarnya sambil mengusap sisa es krim di wajahnya yang malah terlihat semakin berantakan.
"Sini lo!" sambung Raveno hendak meraihku.
Aku langsung berlari menjauh sambil terus tertawa. Raveno mengejarku, dan kami berkejaran di sekitar taman seperti anak-anak. Tawa kami memenuhi udara, membuatku lupa sejenak dengan beban yang menggelayut di pikiranku.

KAMU SEDANG MEMBACA
HOME SWEET HOME [SUDAH TERBIT]
Teen Fiction[PRE-ORDER NOVEL HOME SWEET HOME] Dalam dunia yang penuh luka dan ketidakpastian, Sharin berjuang untuk menemukan cinta di tengah kehampaan keluarganya. Dibesarkan di keluarga yang lebih memuja karier daripada kasih sayang, Sharin tumbuh dalam bayan...