13 tahun yang lalu...
Hujan terus mengguyur kota, langit abu berselimut gumpalan awan yang semakin menggelap. Lampu-lampu jalan terlihat samar di balik tirai hujan, menciptakan bayangan yang melintas di trotoar yang basah. Di dalam sebuah rumah besar dengan dinding bercat krem, terdengar suara pertengkaran yang memecah kesunyian.
"Kamu selalu begitu, tidak pernah mengerti!" suara perempuan yang bergetar penuh emosi, diiringi suara laki-laki yang tak kalah kerasnya, "Ini bukan hanya tentang kamu!"
Di sana, Sharin kecil, yang berumur sekitar lima tahun, meringkuk di balik pintu kamar tidurnya. Ia menutupi telinganya dengan kedua tangan, berusaha mengusir suara orang tuanya yang beradu argument. Ketika suara itu semakin memanas, Sharin memutuskan untuk keluar dari jendela kamarnya secara diam-diam. Menerobos hujan yang deras, membasahi rambut dan bajunya.
Sharin berlari dan menepi di sebuah taman bermain yang sepi. Meringkuk di sudut ayuran yang basah, ia menangis tanpa suara. "Aku benci Mom dan Dad!" gumamnya. Keheningan sore itu hanya dipecahkan oleh suara rintikan hujan, bagaikan simfoni yang menemani kesedihannya.
Tak lama kemudian, seorang anak laki-laki muncul, memakai jas hujan biru transparan yang mengilap. Masih memakai seragam dengan bet bertuliskan 'kelas 5' di balik jas hujan yang dipakainya. Tangannya menenteng kantong berisi sepatu. Ia mendekati Sharin yang masih meringkuk di balik ayunan, "Hey, kamu tersesat?" tanyanya dengan lembut, matanya penuh perhatian. "Di mana rumahmu?"
Sharin hanya menggelengkan kepala. Mulutnya bergetar,"Aku gak mau pulang!" ujarnya, dengan suara tertahan oleh rasa sakit yang mendalam.
Melihat baju Sharin yang basah, anak laki-laki itu merasa iba,"Di sini dingin. Ini, pakai jaketku," katanya sambil memakaikan jaket kuningnya ketubuh mungil Sharin. "Dan ini, aku punya susu cokelat pisang. Ini kesukaanku."
Sharin menatapnya polos, matanya bersinar penuh rasa ingin tahu. Perlahan, ia menerima susu itu, menghabiskannya dalam sekejap, seolah begitu kehausan. Bocah laki-laki itu tersenyum, terlihat senang melihatnya, lalu mengelus lembut rambut tipis Sharin.
"Siapa namamu?" tanyanya, menciptakan jembatan perkenalan yang menghangatkan suasana dingin saat itu.
"Sharin," jawabnya dengan suara lembut, senyumnya mulai merekah.
"Aku Raveno," ucapnya sambil mengulurkan tangannya.
Sharin kemudian memberikan botol susu cokelat pisang yang sudah kosong itu kepada Raveno. "Tolong buangin ke tempat sampah ya, kak," pintanya polos.
Raveno terperangah sejenak, kemudian tertawa terbahak-bahak, gelak tawanya mengalihkan kesedihan yang menyelimuti benak Sharin.
Ia mencubit gemas pipi Sharin, "Okey, akan kakak buang kalo Sharin mau pulang."
Sharin mengangguk polos. Raveno membantunyaberdiri kemudian menggenggam tangan mungil Sharin yang sudah sedingin es danmengantarkannya kembali ke rumah.

KAMU SEDANG MEMBACA
HOME SWEET HOME [SUDAH TERBIT]
Fiksi Remaja[PRE-ORDER NOVEL HOME SWEET HOME] Dalam dunia yang penuh luka dan ketidakpastian, Sharin berjuang untuk menemukan cinta di tengah kehampaan keluarganya. Dibesarkan di keluarga yang lebih memuja karier daripada kasih sayang, Sharin tumbuh dalam bayan...