Maliya

6.3K 86 5
                                    

Tangisan si kecil, Al-Fatih, bayiku yang baru berumur 6 bulan terdengar kencang. Aku mulai panik karena dia tak berhenti menangis sejak pagi. Entah apa yang membuatnya tak mau berhenti menangis. Aku sudah mencoba berbagai cara untuk mendiamkannya, termasuk membuat mimik lucu dan berjingkrak-jingkrak.

"Mungkin dia sakit perut," kata Raihan, suamiku. Dia sudah mau berangkat kerja. dan menatap penuh sesal karena tak bisa membantu menenangkan bayi kami.

Perut Fatih tak kembung, badannya juga tak demam, tak ada tanda-tanda kolik, Fatih memang mudah terkena Kolik jika cuaca dingin.

Akhirnya bukan hanya Fatih, aku pun ikut kelelahan. Tak terasa kami malah ketiduran berdua.

Bunyi bel membangunkanku. aku terkejut. ku lihat jam sudah menunjukkan pukul 10 pagi. Astaga aku ketiduran pagi-pagi. Ku lihat tubuh kecil Fatih masih meringkuk tenang di tempat tidur.

Emosiku yang tadi hampir meledak kini langsung menguap. Bibir mungil itu selalu bisa membuat hatiku menjadi tenang.

Aku bergegas meninggalkan Fatih untuk membuka pintu. Nampaknya ada pasien yang ingin berobat. Padahal hari ini hari minggu.

Seharusnya aku libur bekerja. Tenaga kesehatan memang tak mengenal hari libur atau tanggal merah. Apalagi yang bertugas di desa sebagai perawat atau bidan desa masa kerjanya bisa 24 jam.

Ku lihat di depan pintu seorang wanita muda, Maliya, ia datang bersama ibunya. Usia Maliya baru menginjak 17 tahun tapi dia sudah menjadi akseptor KB suntik. Benar, pernikahan dini, seperti banyak kasus di daerah pedesaan umumnya.

Sebenarnya hatiku miris. Lama aku bertugas di sini namun belum bisa mengubah pola pikir masyarakat tentang penundaan usia pernikahan. Alasan mereka adalah dari pada anak-anak mereka terjerumus ke arah pergaulan bebas. Karena tak dipungkiri meski jauh dari hingar bingar ibu kota, beberapa ku temui kasus dengan kehamilan di luar pernikahan. Ironis.

Aku tersenyum pada Maliya dan mempersilakan dia dan ibunya masuk.
"Mau suntik Kb, ya?" tanyaku.
Maliya menggeleng ragu. ku lihat dia mengeluarkan sebuah alat tes kehamilan. Aku terperangah. Koq bisa Maliya hamil. Padahal dia tak pernah telat melakukan kunjungan ulang untuk Suntik KB.

Ku buka catatan di register KB ku, nama Maliya tercatat setengah bulan yang lalu melakukan suntik Kb satu bulan.

Aku diliputi kebingungan. ini adalah kasus kegagalan kontrasepsi suntik pertama yang kutemui. Memang benar efektivitas KB suntik tidak 100% dapat mencegah kehamilan tapi menurut penelitian hanya 1 dari 1000 wanita yang menggunakan KB suntik 1 bulan ini mengalami ‘kebobolan’ hingga hamil. Sementara, 999 wanita lainnya tetap terjaga dari kehamilan saat menggunakan kontrasepsi yang satu ini.

Aku masih tak bisa berkata-kata apa-apa. Aku merasa tak becus, berarti konseling pranikah yang kulakukan untuk Maliya dan suaminya dulu agar menunda kehamilan sampai usia matang, yakni 20 tahun, sia-sia.

"Rejeki Allah, bu Bidan. Padahal sudah diusahakan pakai KB tetap hamil juga." Ibunya Maliya mengatakan dengan ekspresi yang sulit ku baca. Antara senang dan gelisah.
Pasti dia senang karena akan segera memiliki cucu pertama dari putri sulungnya. Tapi juga cemas dengan kemungkinan kondisi janin yang dikandung putrinya. Apalagi baru trimister awal yang jadi awal pembentukan janin rentan keguguran atau menyebabkan kelainan bawaan.

"Berpengaruh tidak ya, Bu?" tanya beliau.

"Beberapa kasus dengan kegagalan KB suntik dan hamil tanpa diketahui, tidak mempengaruhi kondisi kehamilan. kita berdoa saja semoga ibu dan janin yang dikandungnya sehat ya, Bu. jadi nanti akan saya berikan rujukan buat USG ke rumah sakit ya. Biar dokter bisa periksa kondisi janin," ucapku menenangkan.

Malaikat Bernama Ibu (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang