Kenangan Hayla part.2

410 28 1
                                    

Aku melangkahkan kaki memasuki lorong ruang penyakit dalam. Ku amati satu persatu setiap pintu ruangan untuk menemukan nomor kelas di mana Hayla di rawat.

Kelas 1A. Aku menemukannya.

Ragu aku untuk mengetuk pintu. Berdiri diam di sana lebih dari sepuluh menit.

Aku bimbang. Apakah aku sudah sangat terlambat untuk menjenguk Hayla.

Lama sel-sel neuron di otakku beradu argumen. Ok. Fix! Aku masuk saja.

Saat tangan kananku terangkat untuk mengetuk pintu berwarna putih itu, tapi pintu itu tiba-tiba terbuka.

"Hanan, Ayo masuk," ajak tante Rania kaget melihatku berdiri mematung di depan pintu.

Aku tak bergeming. Hatiku kembali menciut. Entah sejak kapan aku memiliki rasa takut bertemu Hayla.

Selama ini hal yang membuat aku menghindar untuk bertemu dengannya adalah aku membencinya. Tak ingin berdekatan dengan Hayla.

Tante Rania mengapit lenganku. Dia mengiringku ke samping ranjang Hayla.

Di sana Hayla terbaring lemah dengan selang infus di kiri kanan tangannya.

"Ini kantong darah terakhir yang tersedia," bisik ibu yang berdiri tepat di belakangku.

Tak ada basa basi seperti layaknya ibu dan anak yang lama tak bertemu antara aku dan ibu.

Ibu lebih mengkhawatirkan Hayla. Aku hanya sebagai tamu yang datang menjenguk. Prasangka buruk tak pernah menjauh dariku. Sekuat tenaga aku coba menepis pikiran tak berdasar itu.

Ku amati tetes demi tetes darah yang mengalir dari selang transfusi. Nafasku tercekat.

Ke mana saja aku selama ini. Saat keluargaku berjuang ke sana kemari mencari donor darah untuk Hayla, aku malah pura-pura sibuk dan mengabaikan.

Ku tatap wajah Hayla yang semakin tirus. Wajah cantik dan pipi chubby yang selalu menampilkan senyum menenangkan itu kini kehilangan auranya.

Mata Hayla tertutup. Lalu terbuka saat aku menyentuh lengannya. Hayla mengenaliku, dia langsung tersenyum.

"Kak Hanan, apa kabar?" tanya Hayla dari balik selang infus yang melingkar hingga ke belakang kepalanya.

Aku tertunduk. Malu menatap mata Hayla. Kenapa harus dia yang lebih dulu menanyakan kabar. Di sini aku yang dalam kondisi sehat wal afiat.

"Baik, Ay," jawabku. Suaraku seakan terperangkap di kerongkongan tak bisa lagi berkata.

"Aya juga baik," tambah Hayla karena aku hanya terdiam. Hayla tersenyum. Nampak nafasnya sedikit tersengal.

Aku terbiasa memanggil Hayla dengan sebutan Aya karena sewaktu kecil tidak sampai mengucapkan nama lengkapnya.

Seorang perawat memasuki ruangan. Dan meminta ijin untuk memeriksa kondisi vital Hayla.

"Sudah dapat calon pendonor darahnya?" tanya perawat berjilbab putih itu pada ayahnya Hayla.

Om Ayyash nampak ragu menjawab.

"Iya, Ka. Ada. Saya yang akan mendonor," selaku. Entah malaikat mana yang lewat sehingga mulutku bisa melontarkan kalimat itu, padahal pikiranku saja belum setuju.

Tante Rania menatapku haru. Dari gerak bibirnya bisa ku baca jika dia mengucapkan terimakasih.

"Baiklah. Mari ikuti saya. Kita ke ruang laboratorium," ajak perawat itu.

Aku mengikuti langkah perawat itu hingga ke laboratorium. Aku tau ibu memandangku dari belakang dengan perasaan cemas. Tapi aku bersikap seolah tak menyadarinya.

Malaikat Bernama Ibu (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang