Luka Hati Menantu

546 30 3
                                    

Sofea Pov

Tempe goreng dan sayur bening beserta sambel terasi telah terhidang di atas meja makan. Nasi panas mengepulkan asapnya. Ku tambahkan beberapa biji pisang kepok matang yang tak sempat ku buat kue. Siapa tau Nizar dan ibu mertua mau memakan pisang itu langsung.

Aku memanggil Nizar ke kamar. Dia tengah berleha-leha di atas tempat tidur. Ku tengok jam di dinding sudah jam setengah 7 pagi.

"Bang, ayo bangun!" Aku mengguncang pelan tubuh Nizar yang menelungkup.

Nizar menggeram. "Bentar lagi. Masih ngantuk!"

"Sudah jam setengah tujuh. Nanti Abang telat ke kantor. Dimarahin bos lagi," bujukku.

Nizar mendengus. "Ini bangun. Sana siapin handuk abang mau mandi dulu!"

Nizar mengeliat dengan matanya yang memerah. Sudah jadi kebiasaan Nizar tidur kembali ke tempat tidur sehabis shalat subuh.

Aku sudah berulang kali menerangkan jika itu tidak baik bagi kesehatannya tapi Nizar tak peduli. Dan mengatakan aku sok tau.

Ku raih handuk biru yang tergantung di balik pintu kamar.

"Ini, Bang. Jangan lama-lama mandinya. Makanan sudah siap dari tadi."

"Bawel banget sih pagi-pagi," ketus Nizar. Tapi dia menarikku ke pelukannya dan memberikan kecupan manis di pipiku.

"Abang mandi ya, Mbul." Sebutan Nizar buatku. Katanya karena pipiku yang chubby.

Sedikit kesal yang ku pendam karena melihat sikapnya yang tak berubah sejak awal kami menikah, seketika menguap.

Nizar meski sering cuek dan kadang berkata agak kasar padaku, tapi sejatinya sikapnya bisa sangat romantis seperti tadi.

Nizar anak bungsu, karena itu ku anggap sikap kekanak-kanakannya karena telah terbiasa dimanjakan oleh ibu mertua.

Aku bergegas memanggil ibu mertua diteras depan. Terlihat beliau tengah menyapu halaman rumah.

"Bu, makanan sudah siap," tegurku.

Ibu mertua menoleh ke arahku. "Iya," sahut ibu mertua. "Kamu lanjutin dulu nyapunya ini tinggal dikit lagi. Ibu mau cuci tangan dulu."

Aku tercengang. Ibu sudah dari sejam yang lalu memegang sapu katanya mau nyapu halaman, halaman yang tak terlalu luas ini, tapi yang terlihat daun-daun pohon nangka dan rambutan masih berserakan di tanah.

Wajahku langsung masam. Pasti dari tadi ibu cuma duduk-duduk santai, pikirku. Tapi aku tak protes. Segera ku ambil sapu yang tergeletak di tanah. Menyapu dengan cepat. Karena Nizar bisa protes jika saat dia makan aku tidak di dekatnya.

Ku elus perutku yang mulai sedikit membuncit. "Sabar ya, sayang. Kita beresin ini dulu baru bisa makan."

"Kamu nggak goreng ikan?" tanya Nizar saat ku hampiri di meja makan.

"Anu.."

"Iya dari kemarin kalo nggak tempe ya tahu," sela ibu mertua. memotong bicaraku. "Bisa kurang gizi nanti suamimu. Memangnya dia kasih uang belanjanya kurang?"

"Sofea masih suka mual, Bang, kalo nyium bau minyak dari menggoreng ikan," terangku. Mengingatnya saja bikin perutku langsung mules.

Nizar manggut-manggut. "Ya sudah nanti sore Abang beli ikan masak saja."

Mata ibu mertua langsung mendelik. "Boros sekali kamu, Zar. Baru juga jadi tenaga kontrak. Iya kalo kamu sudah di angkat jadi pegawai negeri. Bisa seenaknya beli makanan di luar."

Nizar cuek saja dengan ceramah mendadak ibunya. Dia sudah terbiasa mendengarkan sarapan kekesalan ibunya setiap hari.

"Ini sih istri kamu aja yang manjanya kebangetan. Ibu punya anak delapan. Nggak ada tuh keluhannya kayak dia pas hamil. Masa goreng ikan aja nggak sanggup. Mual itu biasanya sampai umur kehamilan tiga bulan aja. Ini sudah hamil empat bulan koq mual. Alasannya saja mengada-ada."

Malaikat Bernama Ibu (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang