Waktu

825 37 8
                                    


"Ada ghibah apa hari ini?" tanyaku saat memasuki aula puskesmas. Hari ini akan diadakan rapat bulanan lokakarya mini tingkat puskesmas.

Ku pilih salah satu kursi kosong dekat Ka Salwa. Ka salwa dan Ka Mudzalifah terlihat senang melihatku ikut nimbrung.

"Han, Lo tau nggak istri Randy hamil lagi," ucap Ka Salwa bersemangat. Ka Salwa dan bakat ghibahnya selalu patut aku acungi jempol.

"Alhamdulillah," ucap syukurku.

"Iya, Han. Kita doakan semoga yang kali ini berhasil sampai lahiran ya." Wajah Ka Mudzalifah nampak prihatin.

"Aamiin," ucapku, membatinkan doa untuk kesehatan dan kelancaran kehamilan istri Randy.

Moderator acara terlihat memulai pembukaan acara dengan mengucap salam.

Aku membenarkan posisi dudukku menjadi tegak. Berniat fokus mendengarkan jalannya rapat.

"Randy tuh ya sayang banget sama istrinya. Kemarin aja pas ulangtahun istrinya, dia nyiapin kado cincin berlian."

Aku melirik ke samping kiri, memantau Ka Salwa dan ka Mudzalifah yang masih antusias untuk bergosip.

Sementara di depan aula, kepala puskesmas tengah menyampaikan persiapan partisipasi staf puskesmas dalam lomba memperingati hari kesehatan nasional yang akan diadakan dinas  kesehatan.

"Ikut tarik tambang yuk, Han," ajak Shafa, rekan sesama bidan desa, yang duduk di samping kananku.

Aku meringis. "Malas, Han. Entar kalah lagi kayak tahun kemarin. Pinggang emak sekarang sering encok," ucapku tak berminat.

Shafa menatapku kecewa. "Ramenya itu, Han. Kan sekali setahun juga."

"Aku jadi penggembira aja, ya," senyumku. Tak lama ku sikut Shafa yang ingin menyahut ucapanku.

Deheman dari kepala puskesmas menyadarkanku jika dia tengah memandang ke arah kami jengah. Jangan-jangan kami terlalu keras bicara.

Aku tersadar. Arah tatapan beliau bukan padaku dan Shafa, tapi ke arah Ka Salwa dan Ka Mudzalifah yang tengah asyik mengobrol, tanpa menyadari tatapan tajam dari kepala puskesmas.

Ku tendang kaki Ka Salwa. "Apa sih, Han?" tanyanya heran.

"Mata kamu sakit?" tanya Ka Salwa lagi karena aku memberi isyarat ke arah kepala puskesmas dengan menggunakan lirikan mata.

"Kakak nggak lihat tuh bos besar di depan udah kayak singa kelaparan?" bisikku geram.

Ka Salwa dan Ka Mudzalifah sontak megarahkan tatapan ke depan aula.

"Maaf, Pak, ini si Ifah cerita habis nolong partus," alasan Ka Salwa  sambil nyengir.

Bapak kepala puskesmas yang terhormat semakin melotot.

***

"Sayang banget dulu ya, Maria nolak waktu mau dilamar Randy," ucap Ka Salwa saat makan siang menyantap menu nasi padang setelah selesai rapat.

Astaga, ghibah hari ini masih seputar Randy, pikirku.

"Iya, rugi banget sih Maria. Ka Randy tuh tampangnya udah oke mirip Rio Dewanto, tajir, romantis pula. Benar-benar suami idaman," sahut Shafa.

"Ciyeee..yang dulu pernah ada hati sama Randy," goda Ka Salwa.

Shafa protes. "Suka aja ka, nggak sampai cinta," bela Shafa.

"Heleh, kalo ditanggepin Randy kamu juga mau kan?"

Shafa salah tingkah. "Adik terima dengan lapang dada," sahut Shafa kemudian, "Jadi yang kedua pun bersedia," guyonnya dengan mimik muka berharap.

Malaikat Bernama Ibu (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang