Tawa Arbina

1K 46 3
                                    

Aku sedang berkutat untuk menyuapi Al-Fateh yang makin hari makin tak bisa diam. Makan saja sambil manjat-manjat jendela.

Ayah Fateh, Raihan, sibuk nonton acara favoritnya, sepak bola dengan suara keras bersama Shidqi, anak pertama kami. Berulang kali aku menegur agar ia mengecilkan volume TV tapi tak dihiraukan. Tengah ada pertandingan Liverpool vs Manchester United.

Si ayah heboh sendiri. Di sudut ruangan, Al-Fateh ikut tepuk tangan jika ayah dan kakaknya bersorak saat terjadi gol.
Aku hanya bisa geleng-geleng kepala. Ayah dan anaknya sama saja.

Untuk ke sekian kalinya aku teriak-teriak bersaing dengan suara TV yang juga semakin kencang.

"Kecilin volume TV nya atau malam ini tidur di luar?" ancamku.

Telingaku sudah pengang luar biasa. Raihan memberengut. Dengan malas dia mengecilkan volume TV. Tapi hanya dikurangi satu volume. Gantian aku yang cemberut.

Terdengar bunyi pintu di gedor dari luar dengan keras. Buru-buru Raihan memencet volume TV dengan kekuatan penuh. Sehingga hanya terdengar bisik-bisik dari komentator bola.

"Buka pintu!" pintaku sambil beringsut ke belakang Raihan.

Takut-takut karena malam ini malam jum'at. Kemarin sedang heboh arwah gentayangan di desa. Katanya ada yang lihat di atas pohon. Aku merinding.

Suamiku tentu saja marah karena aku mudah percaya dengan takhayul seperti itu. Tapi tetap saja aku takut. Jangan-jangan hantunya mampir mau berobat, pikirku.

"Bu Jannah, ada apa?" Raihan mengenali sosok wanita paruh bayah yang memakai penutup kepala berupa handuk kecil sehingga helaian rambutnya yang memutih berjuntaian di dahinya.

Aku mengeratkan remasan pada ujung baju kaos Raihan.

"Adik saya melahirkan di rumah."
Aku langsung lompat ke hadapan Bu Jannah

"Koq bisa. Kenapa nggak di bawa ke sini?" tanyaku.

"Dia sendirian di rumah. Saya juga nggak tau. Datang-datang udah brojol."

Aku masih mengajukan berbagai pertanyaan sambil sibuk memasukkan tensi meter dan obat-obatan ke dalam tas partus.

"Ayo, Bu kita ke sana. Ibu ikut saya saja!"

Bu Jannah datang ke rumah hanya berjalan kaki padahal jaraknya cukup jauh. Rumah adik beliau, Arbina, terletak jauh di ujung kampung. Dan berada tepat di samping pemakaman umum. Aku merapal ayat Kursi sepanjang jalan.

"Koq gelap?" tanyaku curiga saat tiba di rumah Bu Arbina.

Bu Jannah menyalakan lampu minyak. Suasana sedikit terang. Tapi tetap saja mataku masih sulit beradaptasi.

Beruntung tadi aku tak lupa memasukkan senter kepala ke dalam tas. Aku memakainya dan bergegas menghampiri bu Arbina yang duduk berselonjor kaki dan bersandar ke dinding rumah yang nampak penuh lubang.

Rumah ini sebenarnya sudah tak layak huni. Lantai rumahnya sudah lapuk. Dinding berlubang dan berlumut. Tercium aroma tak sedap dari arah dapur. Mungkin makanan basi dan juga kotoran yang tak disiram bersih. Tak ada WC di rumah Bu Arbina.

Aku mual tapi ku tahan. Tak mungkin aku muntah sekarang. Keadaan sangat emergency, Bu Jannah bilang tidak tau sejak kapan bayi itu lahir.

Aku harus secepatnya melahirkan plasenta jika tidak ingin terjadi Retensio Plasenta.
Ku singkap kain sarung yang dikenakan Bu Arbina. Seorang bayi montok yang beratnya ku perkirakan hampir empat kilo tengah mengisap ibu jarinya. Matanya mengerjap saat lampu senter yang ku pakai mengenai matanya.

Malaikat Bernama Ibu (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang