Kenangan Hayla part.1

437 26 1
                                    

Namanya Hayla Adzkadina Misbah, putri dari adik perempuan ibuku, tante Rania. Berarti aku dan Hayla adalah saudara sepupu.

Rumah ibuku dan tante Rania bersebelahan. Sejak kecil kami berdua sudah terbiasa menginap di rumah satu sama lain. Kami dibesarkan bersama. Segala hal selalu dibiasakan untuk berbagi.

Ibuku sudah menganggap Hayla seperti anaknya sendiri. Begitu juga tante Rania memperlakukanku tak beda dengan Hayla.

Selisih umurku dan Hayla terpaut empat tahun. Tak terlalu aneh rasanya untuk mengharuskan kami bisa bersahabat.

Tapi kenyataannya walaupun usia kami tak terpaut jauh dan dikenal sebagai saudari sepupu, aku dan Hayla tak terlalu dekat.

Sewaktu kecil aku sering memusuhinya. Aku menganggap ibuku lebih menyayangi Hayla. Hayla selalu dimanjakan oleh ibuku. Keinginannya selalu dipenuhi, walaupun aku tak senang. Walaupun aku berkeyakinan hal itu akan merugikanku. Ibuku tetap melakukannya.

Dulu suatu waktu, aku pulang sekolah dengan menenteng hasil prakarya dari tugas sekolah. Aku sangat bangga bisa membuatnya dan ingin memperlihatkannya pada Ayah.

Tapi saat Hayla melihat bunga warna warni dari kertas tissu itu, dia menginginkannya. Dengan tenang Hayla mengatakan pada ibuku jika dia ingin memiliki bunga itu.

Ibuku, tentu saja dengan sigap mengambilnya dari tanganku lalu memberikannya pada Hayla.

Aku bersikera menolak tapi ibu dengan tegas malah berkata,
"Kan kamu bisa membuatnya lagi," cetus ibu.

Aku jengel tak terkira. Ibu tak paham dengan perasaanku. Bunga-bunga kertas itu adalah hasil jerih payahku yang pertama. Susah payah aku membuatnya.

Aku adalah anak yang tomboy, sehari-hariku lebih senang bermandikan cahaya matahari. Bermain layangan, kelereng atau mandi di sungai bersama anak lelaki yang usianya sebayaku.

Jadi sangat sulit bagiku untuk berdiam di rumah selama berjam-jam melentikkan jari jemari untuk merangkai tissu warna warni hingga menjadi sebuah bunga.

Sebenarnya aku ingin meletakkannya di meja ruang tamu agar jika ada tamu yang datang mereka akan memujiku, tapi sekarang bunga-bunga kertas itu berakhir manis di kamar Hayla. Tanpa ada yang tau jika aku yang membuatnya. Mungkin jika ada yang bertanya Hayla akan menjawab jika itu hasil karyanya.

Jika aku bertengkar dengan Hayla, dialah yang sosok yang selalu dimenangkan oleh ibuku. Aku sampai berpikir mungkin dulu Tuhan salah menempatkan embrio Hayla di rahim tante Rania. Embrio itu harusnya menetas di rahim ibuku.

Aku marah. Kesal dan ingin menangis. Tapi ibu mengabaikanku. Hal seperti itu beberapa kali terjadi, membuat bara api di hatiku semakin tersulut. Kebencianku tumbuh subur pada gadis bernama Hayla.

Hayla gadis kecil yang periang. Wajahnya cantik, kulitnya putih bersih dengan rambut ikal bergelombang. Sikap Hayla amat penurut dan patuh dengan apa saja yang diperintahkan para tetua.

Karena itulah Hayla menjadi simbolis anak idaman di keluarga kami. Kakek dan nenek juga amat menyayangi dan membanggakan Hayla pada cucu-cucunya yang lain.

Berbeda denganku yang tomboy dari kecil. Berpenampilan urakan dan sentiasa beraura bau matahari. Sifat pemberontak sudah bertunas menjadi bakat alamiahku dari sejak aku masih berbentuk zigot.

Ibu sering mengeluh pada ayah jika dia kewalahan menghadapiku.

"Coba kamu seperti Hayla. Dia rajin," ucap ibu suatu hari.

Lain hari dia berkata. "Hayla rangking satu lagi, kamu ngerjain PR aja males. Kerjaannya main terus tak ingat waktu."

Aku semakin hari semakin dibandingkan dengan sepupuku itu. Rasa benciku terus terpupuk. Aku semakin berusaha menjauhi Hayla. Menolak satu sekolah dengannya. Menolak memberikan bantuan padanya. Menolak mengakui jika dia saudari sepupuku.

Malaikat Bernama Ibu (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang