Kata yang tak terucap

490 27 2
                                    

Hanan POV

"Han, kamu sibuk nggak besok?"
tanya ibu mertua saat aku ke rumah beliau bersama anak-anak.

Aku menggeleng. "Nggak, Bu. Hari minggu itu saatnya santai," jawabku sambil mencomot kue bolu bikinan ibu, santai sambil rebahan nonton tv.

Sementara Shidqi bermain mobil-mobilan, Al-Fateh gelendotan dengan ibu mertua.

"Sofea udah lahiran lo, Han. Kata ibunya anaknya kembar. Dua-duanya perempuan. Ibu ingin jenguk kalo kamu nggak keberatan nganterin."

Sofea adalah keponakan ibu mertua. Dia tinggal di desa lain.

"Oke, Bu. Sekalian nanti pulangnya saya mau beli sayur di pasar," jawabku dengan mulut penuh bolu sehingga susah ngomong.

Ibu mertua geleng-geleng kepala melihat tingkahku. "Nanti kalo pulang ambil mangga di dapur. Kemarin ibu beli banyak."

Aku nyengir. Ibu mertua tau saja buah kesukaanku.

Keesokan harinya aku mengantar ibu mertua ke rumah Sofea. Sementara anak-anak bersama ayahnya.

"Lahirannya normal, bu?" tanyaku pada ibu mertua saat di jalan.

"Operasi caesar, Han," jawab Ibu mertua.

Lima belas menit kemudian kami sudah sampai di kediaman Sofea.

Nizar, suami Sofea, yang menyambut kami. Ibu mertua lebih dulu masuk ke ruang tamu, sementara aku masih berkutat memarkirkan kendaraan di halaman. Mencari posisi yang teduh agar si merah, kendaraan dinasku tak kepanasan.

Nizar menghampiriku. "Biar aku bantu, Kak," katanya dengan sikap ramah yang dibuat-buat.

Sontak aku menoleh pada Nizar. Merasa risih saat Nizar nampak mengedipkan matanya padaku. Ku alihkan pandanganku cepat.

Malas sekali jika harus berurusan dengan Nizar. Aku memang sudah lama tak menyukai suami Sofea ini. Entah pikiranku saja, lelaki ini suka tebar pesona. Bahkan padaku yang lebih tua usia darinya.

"Kak Hanan, cantik sekali hari ini," puji Nizar. Dia menatapku tajam mengawasi.

Aku bergidik ngeri saat lelaki berambut cepak itu melemparkan seringai jahil padaku.

Bergegas aku menyusul ibu mertua ke dalam rumah, tanpa mengatakan kata permisi pada Nizar.

Tak peduli dengan Nizar yang masih berusaha mengajakku bicara.

"Kenapa?" tanya ibu mertua saat aku duduk di sampingnya. "Kayak habis lihat setan?"

"Nggak pa-pa, Bu." Aku berusaha menetralkan detak jantungku agar tak terlihat panik.

Ternyata semakin ku biarkan semakin jauh Nizar berusaha mendekatiku. Dulu awal-awal bertemu dia hanya berani curi-curi pandang, lalu langsung buang muka jika ku dapati dia memandangku lama.

Aku tak ingin memikirkan sikap Nizar barusan. Lebih baik fokus ke tujuan awal untuk menjenguk Sofea dan kedua bayinya.

Nampak Sofea tengah berusaha menyusui bayinya. Terlihat masih sangat canggung. Keringat menetes dari keningnya. Dia nampak kewalahan untuk membuat bayinya bisa menghisap payudaranya.

Aku tersenyum melihatnya. Menahan diri untuk tak segera menegurnya. Sofea perlu waktu untuk dapat beradaptasi dengan polah bayinya saat menyusu. Komentar sok menggurui dapat membuat semangatnya untuk belajar akan down.

"Wahh cantik-cantik banget anak kamu, Sofea," ujarku kagum dengan kecantikan dua bayi kembar Sofea.

"Yang ini mirip Sofea, yang lagi disusui itu mirip ayahnya," nilai ibu mertua.

Malaikat Bernama Ibu (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang