Amplop

352 23 1
                                    

"Kenapa nggak tidur?"

Suara Raihan terdengar seperti gema di tengah malam yang sunyi.

Aku membuka mata. Rupanya Raihan tau aku belum tidur.

Aku memicingkan mata menatap jam dinding bergambar Ka'bah yang tergantung di atas pintu kamar. Bunyi detiknya mengisi kesunyian antara aku dan Raihan.

Jam 1 dini hari. Aku meringis. Ternyata sudah 4 jam sejak aku memutuskan untuk pergi ke tempat tidur, tapi mataku tak kunjung bisa terpejam. Padahal rasa lelah di tubuhku seharusnya bisa memancing rasa kantukku.

Raihan memalingkan tubuhnya menghadapku.

"Ada apa?" tanyanya dengan mimik ingin tau.

Terpaksa aku juga memalingkan tubuh menghadapnya. Ku tatap wajah Raihan yang sebenarnya nampak sangat mengantuk.

Mungkin dia tak lelap karena di sampingnya aku terus bergerak gelisah. Aku menatapnya kasihan.

Harusnya suamiku sudah tenggelam dalam alam mimpi dan bangun besok dengan kondisi fit untuk kembali bekerja. Apalagi dia bilang akan menghadiri rapat jam 8 besok pagi.

Apa seharusnya aku cerita saja? Mungkin dengan berbagi pikiran dengan suami, pikiranku bisa sedikit tenang dan bisa tidur dengan nyenyak.

Aku menghela napas. Ku pandangi langit-langit kamar seakan mencari jawaban di sana.

Raihan menungguku bicara. Dia menguap lebar. Lalu mengucek matanya untuk mengusir kantuk. Tapi matanya nampak kuyu sekali.

Aku berdecak. Ah, biarlah nanti entah dia akan tertidur mendengarkan ceritaku. Yang penting aku bisa meluahkan satu hal yang mengganggu pikiranku sejak beberapa hari ini.

"Kemarin Bu Rosmala datang lagi buat tes kehamilan, tapi hasilnya tetap negatif," ucapku memulai cerita.

"Trus?" Raihan menguap lagi. Dia berusaha keras memicingkan mata agar tetap terjaga.

"Ya aku bilang kalo Bu Rosmala belum hamil, tapi dia nggak percaya."

"Kenapa?" tanya Raihan. Dahinya mengerut.

"Dia datang ke tukang urut katanya sudah hamil dua bulan. Tapi pas aku lakukan pemeriksaan nggak teraba apa-apa. Kemarin sudah kali ke tiga dia datang buat tes hamil dan hasilnya tetap sama. Negatif."

"Nggak kamu saranin buat USG?"

Aku mendesah berat.

"Nah itu dia masalahnya. Bu Rosmala nolak. Katanya musim korona gini takut ke rumah sakit."

Raihan geleng-geleng kepala. "Coba jelasin ke suaminya!"

Perkataan Raihan membuat aku cemberut.

"Sudah. Kan kemarin datangnya berdua sama Pak Lukman," jelasku.
"Kayak nggak tau aja gimana Pak Lukman. Kalo dia punya pendirian susah buat dipatahkan."

Raihan manggut-manggut.
"Apa kata beliau?" tanyanya kemudian. Nampaknya kantuknya mulai berhasil di usir.

Raihan duduk tegak di sampingku. Berusaha mendengarkan lebih seksama.

"Dia bilang aku nggak bisa meriksa. Katanya mau ke bidan lain aja."

Moodku langsung turun drastis kalo ingat waktu Pak Lukman marah-marah bilang aku nggak becus jadi bidan.

"Aneh banget. Nggak percaya sama kamu. Tapi nggak mau USG," cetus Raihan.

Pak Lukman adalah salah satu tokoh masyarakat yang sangat disegani di desa. Seharusnya dengan status itu, aku berharap Pak Lukman mempunyai pikiran yang lebih rasional dalam menerima pendapat atau saran dari orang lain.

Malaikat Bernama Ibu (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang