Pernikahan Dini

1K 32 3
                                    

Desa tempat aku bertugas bernama desa Agamis, wilayah binaan Puskesmas Amanah. Desa Agamis termasuk desa sangat terpencil yang keseluruhan wilayahnya adalah rawa. Perlu jarak 15 Km untuk bisa sampai ke Kecamatan.

Akses transportasi masih sulit karena jalan setapak yang sempit dan masih berupa tanah becek, yang jika musim hujan tiba, jalanan utama itu sering tenggelam.

Masyarakat desa terbiasa menggunakan alat transportasi air berupa sampan. Karena itu mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai nelayan dan beralih profesi menjadi bertani jika musim kemarau tiba. Musim kemarau yang kadang tidak tentu datang dan berakhirnya.

Seringkali penduduk tidak sempat memanen hasil jerih payah mereka menanam padi karena musim hujan segera tiba dan merendam dengan cepat seluruh sawah mereka.

Panen gagal, modal tak kembali, dan hutang menumpuk menjadi hal lumrah bagi warga desa. Di sinilah kesempatan emas bagi para rentenir untuk melempar jala uang pinjaman yang berbunga besar. Jadilah mereka semakin termiskinkan.

Desa Agamis hampir selalu terisolasi jika banjir tiba. Segala kegiatan yang berhubungan dengan mobilitas sangat bergantung pada sampan, termasuk dalam bidang kesehatan.

Tidak jarang aku harus bergelut dengan rasa gugup dan takut yang berkali lipat saat berjuang mengantarkan pasien gawat darurat ke fasilitas yang lebih tinggi seperti puskesmas dan rumah sakit, gugup dan takut jika kapan saja sampan kecil yang kami naiki akan tenggelam.

Karena aku ditugaskan di daerah yang di kelilingi air tapi sesungguhnya aku tidak bisa berenang. Lucu bukan.

Sampan paling besar yang dimiliki Kepala desa pun hanya muat untuk lima orang. Dan semakin berkurang kapasitasnya jika yang kami rujuk adalah pasien melahirkan.

Itupun masih harus dilanjutkan dengan transportasi darat. Sering warga harus merogoh kocek lebih dalam untuk biaya menyewa roda empat.

Di sinilah kadang kendala yang harus kami hadapi saat melakukan rujukan pada pasien.

Walaupun biaya melahirkan gratis, tapi mereka masih harus menanggung biaya transportasi dan akomodasi selama pasien di rawat. Sementara uang di kantong pas-pasan. Dilema.

Kegiatan Posyandu pun kami lakukan dengan menggunakan sampan untuk menuju balai Posyandu.

Meskipun angka putus sekolah di desa Agamis masih cukup tinggi, tapi kepedulian mereka terhadap kesehatan anak cukup baik. Terbukti dengan aktifnya masyarakat membawa bayinya untuk melakukan penimbangan berat badan dan pemberian imunisasi lengkap.

"Bulan depan datang lagi ya, Bu," ucapku pada Bu Banun setelah selesai memberikan imunisasi BCG dan polio kepada bayinya yang berumur satu bulan.

Bu Banun sumringah, "Han, kasih tau teman-teman Kamu buat datang nanti ke nikahan anak Saya," ajak Bu Banun.

Anak sulung Bu Banun, Asma, akan menikah minggu depan. Umurnya baru 17 tahun.

Aku tersenyum, "Iya, Bu Banun nanti saya sampaikan."

Dalam hati aku meringis. Lagi. Pernikahan di usia dini terjadi lagi.

Pernikahan dini tampaknya masih marak terjadi, termasuk di Indonesia, terutama di beberapa daerah tertinggal yang pola pikir masyarakatnya masih terpatok pada anggapan budaya, jika menikahkan anak di bawah umur adalah hal yang lumrah.

Selain faktor budaya, pernikahan dini juga dipengaruhi oleh faktor sosioekonomi. Beberapa pihak orangtua masih memiliki anggapan bahwa anak dapat menjadi 'penyelamat' keuangan keluarga saat menikah. Ada juga yang menganggap anak yang belum menikah jadi beban ekonomi keluarga.

Malaikat Bernama Ibu (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang