Chapter 2 : Rapat Membawa Malapetaka

9 1 0
                                    

***

Eh? Aku sedang di mana? Tempatnya menyeramkan. Mama, papa, tolong aku. Ini hutan yang sangat gelap. Aku juga tak kenal satu pun penduduk di sini. Siapa saja, tolong aku. Huwaaaaa, gelap. Mama, dimana kau? Aku pun menangis di tengah hutan yang sangat gelap.

Srek! Srek! Srek!

"Hiiii, semak-semak itu bergoyang. Mama! Papa! Kalian dimana?! Aku ingin pulang!" tangisanku pun makin keras hingga membuatnya bergema berkali-kali. Tapi, tetap saja tak ada yang datang.

Makin lama semak-semak itu makin mendekat dan mengeluarkan bunyi aneh. Mungkinkah hantu yang pernah diceritakan Centralia? Hiii, apa itu Sadako, kuntilanak, teketeke, atau bahkan tuyul?! Aku harus lari.

Saat aku akan mengambil langkah seribu, tiba-tiba lenganku seperti di genggam oleh tangan yang terasa dingin. Dapat kurasakan kalau lengan itu sebenarnya berukuran kecil. Tidak salah lagi, ini pasti tuyul. Kalau tak salah mereka selalu mengambil uang dari para korbannya. Dan aku sedang tak membawa uang sepeserpun. Apa ia akan membunuhku? Aku menyesal mendengar cerita dari Centralia.

"Tiidaaak! Kumohon Lepaskan! Aku tak memiliki uang sepeserpun! Tolong lepaskan!" aku pun terus menjerit sambil mencoba lari dari pegangan lengannya. Sebenarnya aku tak melihat ke arahnya sedikit pun. Tapi, aku juga tak ingin melihatnya. Botak dan hanya memakai celana dalam. Hantu seperti itu sangat tak bermoral.

"Anu, apa kau tersesat? Aku tahu jalan keluarnya kok," suaranya terdengar seperti suara laki-laki. Tunggu, tuyul itu laki-laki atau perempuan? Tapi, perempuan kan jarang ada yang botak. Hmmm, memangnya ia tuyul?

Menyadari itu aku pun memberanikan diri untuk melihatnya. Dengan sedikit ketakutan aku mulai melirik ke belakang. Perlahan aku dapat melihat kepalanya. Rambutnya tak terlalu terlihat karena menyatu dengan gelap malam ini. Yang kulihat hanya sebelah matanya yang berwarna biru tertutup oleh rambut. Aku makin ketakutan. Apa ia hantu bermata satu?

"Lepaskan aku! Aku tak mau ikut denganmu!" aku pun terus memberontak.

Kuakui kekuatannya cukup besar. Meskipun menangis dan berteriak dengan kencang, ia terus membawaku pergi. Apa aku akan dibawa ke markasnya? Aku pasti akan dimakan. Mama! Papa! Tolong.

Setelah cukup lama ia membawaku, aku mulai dapat melihat cahaya. Lama-kelamaan cahaya itu makin terlihat jelas. Akhirnya kami pun sampai ke kota. Aku mulai memandang lingkungan sekitar. He, aku tak mengenal tempat ini sama sekali. Tapi banyak orang yang berkeliaran.

"Jadi di mana orang tuamu. Kau sudah tak menganggapku hantu bukan? Biar aku antar," suaranya terdengar ramah ditambah senyuman yang membuatku merona.

"U-Um. Di-Di istana. Orang tuaku ada di istana," ucapku dengan suara bergetar ketakutan.

"Kalau begitu ayo." Ia pun terus menarik lenganku.

Sebenarnya saat pertama ia memegang lenganku, rasanya sangat dingin. Tapi, sekrang aku dapat merasakan kehangatan darinya. Kami pun terus menelusuri jalan di tengah kota Midgard. Kota ilmu pengetahuan. Teknologi sudah mulai berkembang di sini. Meskipun Luminalake lebih kecil dari kerajaan ini, rakyatnya terlihat sejahtera seperti di sana. Heeee, cukup ramai juga.

"Kita sudah sampai," lamunanku langsung terpecah oleh kata-katanya.

"He?! Sudah sampai?" aku pun tak percaya dan mulai memandang istana yang berdiri megah di depanku. "Anu... terima kasih karena sudah mengantarku. Dan, maaf karena menganggapmu adalah hantu. Ja, sampai jumpa" aku langsung membungkuk sebelum pergi ke dalam istana.

ENDLESS CARD WORLD : JUSTICE AND INIQUITYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang