Chapter 7 : The Wheel Of Fortune

8 1 0
                                    

Beberapa tahun kemudian.

"Oi, kakek! Kenapa aku harus melakukan hal yang merepotkan ini?" dengan jengkel aku mengeluh mengeluarkan suara yang tinggi. Sejujurnya aku bermaksud membentaknya. Ia ini selalu santai saat melatihku. Maunya apa sih? Dan timbaan air ini sangat berat.

"Jadi kau mengeluh. Yasudah, berhenti saja dan jangan bermimpi bertemu lagi dengan Putri Lacerta," kata-katanya terdengar santai dan tak terlihat maksud tertentu. Urgh! Ia menyebalkan. Tapi ia sudah mengetahui kelemahanku. Ya... telinga yang terlalu sensitif ini.

"Bu-Bukannya aku mengeluh!! Hanya saja kau belum memberiku jurus satu pun. Padahal sudah dua tahun!! Tapi kenapa aku malah berakhir begini?! Kapan aku bertemu dengan Lacerta?!" sambil terus berteriak, aku terus menambahkan tinggi suara sambil menyimpan bawaan. Ini cukup berat.

"Jadi begitu. Padahal kau belum menyadari sesuatu juga. Belagu sekali ingin mempelajari jurusku. Ngaca dulu sana!" sambil terus bertapa, ia melemparku dengan batu kerikil. Tentunya aku dapat menghindar, meskipun sempat kena beberapa kali. Aku akui fokusnya sangat luar biasa. Padahal dua hal yang berlawanan, tapi ia bisa menyeimbangkannya. Kalau aku sih mustahil.

"Setidaknya ada hasil kek dari latihan ini. Sejak dulu ototku tak berubah sama sekali. Padahal kau ini selalu melatihku keras. Memberiku mantra ya?" dengan sedikit lantang aku memberikan keluhan pada kakek ini. Ia kejam jika memberiku mantra agar tak tumbuh.

"Mana mungkin aku memberimu mantra. Hokimu saja yang jelek. Lagi pula, apa gunanya tubuh kerempeng yang memiliki otot. Tak keren sama sekali," sambil terus bertapa ia membalas keluhanku. Sebenarnya, daripada membalas aku yakin ia lebih ingin menyanggah. Ahhh! Aku muak!

"Sudahlah! Aku sudah muak! Lebih baik aku mati saja di jalan. Selamat tinggal kakek! Aku harap kau tak mati saat bertapa," setelah menghentakan kaki, aku pun berjalan menjauhi pria itu. Berlajar cukup lama dan tak ada hasil sedikit pun. Siapa coba yang mau mengambil jalan itu? Batu? Terserah saja. Akan kucari guru yang lebih baik.

"Tunggu," kata-katanya langsung menghentikan langkahku. Sekarang apa? Kau marah hanya karena aku berhenti? Atau hanya ingin mengomel? Aku punya waktu yang berharga daripada membicarakan itu denganmu.

Perlahan aku melirik ke belakang. Posisi duduknya masih sama. Bersila di atas batu di bawah air terjun. Urgh! Ia pasti hanya akan mengomeliku. Memang sebaiknya tak usah menganggap kata-katanya. Toh akhirnya ia hanya tetap diam. Aku berdoa ada benda jatuh tepat di kepalanya. Ya... meskipun sebenarnya tak ada benda yang pernah jatuh dari sana.

"Kenapa kau sangat ingin kekuatan?" dengan sedikit serius, ia menatapku dengan tajam. Sebenarnya aku tak terlalu bisa melihat tatapannya. Tapi aku dapat merasakan kalau tatapannya cukup tajam. Yah, bisa terdengar dari nada bicaranya. Tapi aku tak akan terpancing.

"Untung melindungi diri tentunya. Jika bisa untuk dipamerkan sih. Apa ada lagi?" aku pun menjawab pertanyaannya dengan singkat. Jika pertanyaan ini hanya bualan, aku yakin ia akan membiarkanku pergi. Ya cara ini lebih mudah.

"Jawab yang jujur. Aku tak merasakan niat dari jawabanmu," sambil mengubah kembali nada bicara, ia pun turun dari batu petapa tadi. He? Ada apa ini? Aku menjawabnya dengan jujur.

"Apa yang kau maksud? Aku jujur kok. Lagi pula, jika aku berbohong, banyak alasan lain yang lebih berguna daripada jawaban itu," tanpa melihat wajahnya, aku membantah perkataannya yang ditujukan padaku. Kakek ini mulai menyebalkan.

"Kau masih berbohong," ia pun sedikit mendekat. Perlahan aku mulai bisa melihat wajah marahnya. Tapi, bukan wajah marah seperti biasa. Tapi lebih dalam dari rasa kesal. Tatapan matanya yang tajam pun menambah kesan itu. Sekarang aku tak bisa berbuat apa-apa. Tiba-tiba saja aku tak bisa memikirkan kata-kata untuk diucapkan. Ada apa ini?

ENDLESS CARD WORLD : JUSTICE AND INIQUITYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang