6

519 54 5
                                    

Upatan kesal langsung meluncur dari bibirku ketika kurasakan getar di ponselku. Aku tak menghiraukannya. Getaran berisik itu hanya berhasil membuatku mengubah posisi tidurku. Beberapa saat, getaran itu berhenti, tapi lima menit kemudian, getaran itu datang lagi. Jadi, dengan kesal, akhirnya aku bangkit dari tidurku dan meraih ponselku yang tergeletak di atas nakas.

Dan ketika aku melihat layar ponselku, sepasang mataku membulat besar seolah ingin melempar bola mataku keluar.

"Sialan!" upatku sambil bangun. Tanpa membuang waktu, aku segera mencuci muka seadanya. Dan detik selanjutnya, aku sudah check out dari hotel terssebut.

Mobilku langsung membelah jalanan itu dengan kecepatan tinggi. Untungnya karena hari masih menunjukkan jam lima pagi, maka jalanan masih sedikit longgar. Namun, tak urung juga beberapa kali mobil yang kukendarai hampir menyerempet pengendara lainnya. Upatan-upatan terus meluncur dari mulutku.

Aku berpapasan dengan Kiandra di tangga ketika aku sudah sampai di rumahku. Ia melihatku bingung tapi aku tetap melangkah. Ketika aku hendak masuk ke kamar, kusempatkan untuk berteriak padanya.

"Siapkan pakaian dan sarapanku, Kian!"

Dan selanjutnya, tanpa mengucapkan apa-apa lagi, aku beranjak ke kamar mandi. Segera kunyalakan shower dan aku hanyut di bawah kucuran air dinginnya. Saat aku selesai mandi, telah kudapati pakaianku di atas kasur. Aku segera memakainya dan memeriksa penampilanku di cermin.

"Jam enam lewat," desisku melihat jam tanganku.

Selanjutnya, dengan menuruni dua anak tangga sekali lompat, aku turun dan menuju ruang makan. Kiandra tampak terheran-heran melihatku. Dan mendadak aku merasa kesal dengannya.

"Kau harus ingat tanggal sepuluh," desisku sambil melahap sarapanku. "Apa pun yang terjadi, jangan sampai kau lupa tanggal itu."

Kiandra hanya mengangguk patuh mendengar perkataanku tanpa bertanya ada apa di tanggal sepuluh. Lantas, ketika aku sudah selesai dengan sarapanku, aku bergegas pergi. Sempat kudengar teriakan Kiandra yang mengingatkanku untuk berhati-hati di jalan. Dan tanpa menoleh aku hanya melambai sebelah tangan.

Dengan tenang kukendarai mobilku. Musik pelan yang mengalun terdengar merdu mengiringi perjalananku pagi itu. Tanpa sadar satu senyum langsung terukir di bibirku.

Aku tak menampik, aku bahagia hari itu. Akhirnya, setelah dua tahun tak bertemu, hari itu aku kembali bisa melihatnya. Terlebih lagi, karena ketika aku keluar dari rehabilitasi aku tak langsung bisa bertemu dengannya. Sudah lewat dari dua bulan, dan sekarang waktunya tiba.

Nyaris dua jam waktu yang kuhabiskan untuk bisa sampai ke sebuah rumah yang terletak hampir di pinggir kota tersebut. Rumah tersebut masih tampak megah dan berdiri kokoh di sana. Seketika kurasakan sesuatu berkecamuk di dalam dadaku, terutama ketika mataku menangkap sosoknya.

Refleks aku segera menghambur ke arahnya. Aku berlutut dan merengkuh tubuhnya yang duduk di kursi roda. Erangan pelan terdengar dari kerongkongannya. Hanya itu yang bisa kudengar, namun aku tahu bahwa itu satu isyarat kebahagiaan yang ia coba berikan padaku. Dan lantas, kurasakan mataku menghangat.

Satu privasi kudapatkan dengan mendorong pelan kursi roda itu ke sisi rumah. Mengajaknya untuk melihat taman luas yang membentang dari pinggiran beranda rumah. Dan aku kembali mengambil posisiku di sampingnya. Setengah berjongkok dan kutengadahkan kepalaku. Kutatap wajahnya yang terlihat tak normal dengan penuh kasih. Dan lantas kuusap tangannya yang kaku.

"Papa," desisku pelan dengan suara serak hingga kupaksa untuk mendehem berulang kali untuk menetralkan kembali suaraku. "Bagaimana kabarmu?"

Sosok pria di kursi roda itu yang tak lain adalah ayahku tampak bersemangat. Tapi, ia tak bisa menjawab pertanyaanku. Hanya saja aku mengerti, bahwa ia juga merindukanku.

MORE THAN A MIRACLE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang