10

796 58 5
                                    

Hari itu Nura tepat berusia empat puluh hari dan aku tanpa menolak sedikit pun menyetujui keinginan Nenek untuk mengadakan syukuran. Malamnya rumahku yang selalu sepi mendadak ramai. Para tetangga dan keluarga semuanya berkumpul malam itu. Di sampingku Kiandra dengan setia menjaga Nura dalam gendongannya. Dan mataku selalu tertuju pada mereka. Kini kurasa aku tak perlu berpura-pura lagi untuk terlihat bahagia. Kurasa seperti inilah wajah orang yang bahagia.

Mereka yang datang kemudian mendekat silih berganti untuk sekadar dapat melihat Nura dari jarak yang lebih dekat. Mereka mengatakan betapa cantiknya, imutnya, dan aku tahu, mereka semua benar. Bagaimana mungkin bayi mungil ini tak cantik? Ia benar-benar mirip dengan Kiandra. Hatiku sedikit meringis. Kurasa tak ada kemiripan apa pun antara aku dan Nura. Ia benar-benar seperti replika Kiandra.

Ketika acara malam itu selesai, tanpa sengaja kukatakan apa yang ada di benakku pada Kiandra. Kala itu Nura baru saja tertidur. Dan Kiandra tampak kesusahan menahan tawa yang bersiap meledak dari mulutnya.

"Apa itu lucu?" tanyaku setengah berbisik.

Kiandra mengangguk. Ia memeluk perutnya. Matanya yang membulat tampak berair karena tawa. "Bagaimana bisa tidak lucu?"

Aku mendesah panjang seraya merebahkan tubuhku di kasur. Kulihat Kiandra juga melakukan hal yang sama. Ia memiringkan tubuhnya dan kulihat ia yang menatapku.

"Kau mungkin tak menyadari bahwa Nura mirip denganmu."

Aku turut memiringkan tubuhku dan membalas tatapannya. "Memang tak ada."

"Matanya." Kiandra tersenyum. "Ia memiliki matamu dan pantas saja kau tak menyadarinya."

Seketika perasaanku menjadi tenang mendengarnya. Apakah itu sekarang menjadi hal yang penting untukku?

Kurasa, ya.

Dan begitulah hari-hariku selanjutnya berlalu. Aku menikmati kesibukanku yang mengharuskanku membagi perhatianku antara Papa dan Nura. Sesekali kuajak Nura untuk turut berkumpul dengan Papa. Papa terlihat begitu bahagia. Tak akan ada yang tak bahagia ketika melihat wajah Nura. Senyumnya, celotehnya, dan tatapannya. Semuanya mampu menghipnotis siapa pun yang melihatnya.

Terkadang aku pernah berpikir, apakah semua yang tengah kualami saat ini adalah kenyataan? Aku bahkan mengira saat itu aku sedang bermimpi. Tentu, mimpi yang sangat indah. Sekarang lihatlah kehidupanku. Aku memiliki Papa. Dan aku juga memiliki Nura. Serta Kiandra, ia tetap berada di rumah ini. Ia sama seperti sebelumnya. Di sela-sela kesibukannya mengurus Nura ia akan tetap berusaha turut mengurus Papa. Padaku? Setidaknya ia menyempatkan untuk membuat minuman kesukaanku tiap sore. Teh mintnya. Entah dimulai sejak kapan, tapi kurasa ada sesuatu yang kurang kala aku tak menyeruput teh seduhan tangannya.

Semua terasa begitu sempurna. Aku bukan manusia munafik yang mencoba menampik kenyataan yang ada. Semua orang juga mampu melihatnya. Aku sekarang menjelma menjadi pria yang bahagia. Kupikir inilah keluarga yang sebenarnya.

Selain dari itu, entah sejak kapan, aku jadi terbiasa berbincang dengan Andreas. Ya. Kakak Kiandra sering datang berkunjung datang ke rumah demi bertemu dengan Nura. Aku tahu. Siapa pun tak akan merasa cukup bila hanya sekali bertemu dengan bayi mungil itu. Dan dimulai dari sanalah semuanya terjadi, kurasa. Ketika aku dan dia sering berbicara tentang bisnis yang ia kelola. Aku mendengarkannya. Kemudian ia akan meminta saranku, untuk selanjutnya kukatakan apa yang ada di benakku. Hingga kupikir sore itu ia tengah memujiku.

"Kau benar-benar terlihat seperti pewaris yang sesungguhnya." Andreas tertawa. "Jangan tersinggung. Ini pujian. Dan kukatakan kau benar-benar berbakat dalam bidang seperti ini."

Aku hanya tersenyum tipis menanggapinya.

"Kau bisa mencobanya, Rick," lanjut Andreas. "Kukira Kakekmu sedang mencoba merambah ke bidang itu."

MORE THAN A MIRACLE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang