9

550 49 4
                                    

Aku tak tahu sudah berapa lama tepatnya tanpa sadar aku menjadi pria rumahan.

Sore itu, ketika satu pesan masuk ke ponselku seketika aku sadar bahwa aku sudah terlalu lama menjadi pria rumahan. Sudah terlalu lama aku tak keluar dari rumah dan lebih memilih menghabiskan waktuku dengan Papa dan Kiandra. Dan semua terjadi di luar kesadaranku. Sudah terlalu lama hingga aku sadar bahkan kandungan Kiandra sudah memasuki bulan terakhir.

Satu pesan dari Alex sukses membuat aku terpikir kembali untuk mengunjunginya. Kupikir tak ada salahnya untuk bertemu dengannya setelah sekian lama aku menghilang tanpa sempat memberi kabar padanya. Maka malam itu selesai makan malam kukatakan pada Kiandra bahwa aku akan pergi sebentar. Tampak ia ingin melarangku, namun aku meyakinkannya bahwa aku tak akan lama. Akhirnya, ia mengangguk. Walau kulihat senyum muram di bibirnya.

Mataku bisa dibilang membutuhkan beberapa detik untuk menyesuaikan keremangan ruangan tempat yang kudatangi. Lampu kelap-kelip tak membantu banyak. Tentu saja, aku sudah lama tak ke sini. Seolah sekarang terasa asing bagiku, padahal hanya sekitar sembilan bulan berlalu.

Aku langsung menemui Alex dan ia tertawa melihat kedatanganku.

"Apa yang terjadi dengan Enrick?" Ia tertawa. "Kau kemana saja?"

Aku tersenyum mendengar sapaannya dan langsung menyambut minum yang ia sodorkan. Ketika bibir gelas itu hendak menyentuh bibirku, mendadak –dengan anehnya- aku terbayang Kiandra yang tengah mengandung besar, lantas kuletakkan gelas itu di meja.

"Ada apa?" tanya Alex.

Aku menggeleng muram. Ia tak akan mengerti. Tentu saja. Toh, aku juga tak mengerti apa yang tengah terjadi padaku.

"Aku...," lirihku berat seraya berusaha mencari alasan yang tepat untuk kukatakan pada Alex. Dan akhirnya aku tak menemukan alasan apa pun yang tepat untuk menjawab pertanyaan Alex. Aku tak mungkin menjawab pertanyaan dengan mengatakan 'Oh, maaf, Lex. Istriku sedang hamil dan aku sekarang menjaganya seharian di rumah', kan? Atau aku harus sedikit menceritakan keadaan keluarga dengan berkata 'Papaku akhirnya bisa tinggal bersama denganku lagi'? Aku mengenyahkan pikiran itu. Lain dari pada itu, aku lebih memilih untuk malah bertanya padanya. "Bagaimana keadaanmu?"

Ia nyengir lebar. "Masih bugar seperti biasanya."

"Aku bisa lihat itu." Aku melirik jam tanganku sekilas. Namun, Alex tetap menyadarinya.

"Kau tentu tak bermaksud untuk buru-buru pulang, kan?" Ia tertawa. Dan aku tak merespon pertanyaannya. Entahlah, sekarang aku merasa ada yang salah dengan keberadaanku di sini. Rasanya tak tepat.

Kuhela napas panjang dan kusandarkan punggungku. "Aku hanya ada masalah yang harus kuurus."

"Karena itu kau sudah lama tak bergabung dengan kami?"

Aku mengangguk muram. Dan Alex menepuk bahuku, sekilas mengusap ukiran kembar di tanganku. Seolah sedang mengingatkanku tentang betapa banyaknya hal yang sudah aku dan ia lakukan bersama. Aku mengakuinya, sudah terlalu banyak. Sudah terlalu banyak hal buruk yang aku lakukan bersama dengan Alex.

Alex adalah teman terlama yang pernah kumiliki. Aku mengenalnya ketika naik kelas dua SMA. Dan kehidupannya tak jauh berbeda denganku. Walaupun sebenarnya aku dengan keahlianku selalu berhasil membuat ia tak tahu banyak tentang kehidupan keluargaku. Aku merasa buruk untuk mengakui aib yang satu itu. Apa pun itu, akan kuceritakan, semuanya, tentangku, tapi tidak tentang keluargaku.

Dan karena kami berpikir kami banyak memiliki kesamaan, maka aku dan dia memutuskan untuk membuat tatto. Bisa dibilang sebagai simbol persahabatan kami? Aku meringis. Atau simbol kebanggaan kami? Terserah apa pun istilahnya, yang pasti kami berdua senang memilikinya.

MORE THAN A MIRACLE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang