7

620 52 4
                                    

Satu ciuman yang kulakukan di malam itu membuat perasaanku semakin tak mengenak, terutama ketika Kiandra mengatakan betapa indah mimpi yang ia dapat malam itu. Sontak membuat seluruh bagian tubuhku bersiaga dalam keadaan penuh waspada. Akhirnya aku mulai menyadari bahwa sesuatu yang salah telah terjadi padaku. Dan aku tak mau tahu apa itu. Karena aku selalu ingat, terkadang kenyataan bisa hadir dengan begitu menyakitkan.

Untuk satu alasan itulah maka aku kembali memutuskan untuk keluar dari rumah dan menikmati kehidupanku di luar sana. Namun entah mengapa terkadang aku merasa apa yang sudah kulakukan menjadi sangat tidak berguna. Ada kalanya seolah aku sedang melihatnya yang berjalan di keremangan penyinaran temaran dari lampu klub dan lantas setelah beberapa gelengan kuat yang kuhentak pada kepalaku, akhirnya sosok itu menghilang. Saat itu kupikir alkohol sudah terlalu jauh mengambil alih otakku, tapi aku tahu itu hanya alasan agar ketakutanku tidak semakin datang menggerogotiku. Dan karena itu, semakin aku tenggelam dalam asap rokok serta tetesan minuman keras. Kupikir merekalah satu-satunya yang bisa membuat aku untuk kembali waras.

Aku tak tahu sudah botol ke berapa yang aku habiskan malam itu ketika kurasakan gelas terakhir begitu menyiksa. Rasanya kesadaranku seperti sedang ditarik paksa. Dan lantas memang tak ada yang mampu kulakukan. Kubiarkan tubuhku ambruk seketika.

*****

Kepalaku masih menyisakan berat ketika akhirnya kesadaranku perlahan kembali mulai datang. Sinar terang yang berusaha menerobos tebalnya tirai dengan perlahan tapi pasti berhasil menarik kesadaranku untuk kembali ke permukaan. Kupandangi sekelilingku dengan perasaan heran. Bagaimana aku bisa sampai di hotel adalah pertanyaan pertama yang terbersit di benakku.

Aku bangkit duduk dan memberikan kepalaku beberapa kali pukulan tanganku sendiri demi memulihkan kesadaranku sepenuhnya. Kupandang kamar itu sekeliling dan tak ada siapa pun selain aku. Apakah aku datang ke sini seorang diri? Ehm, dan itulah pertanyaan terakhir di benakku sebelum akhirnya aku memutuskan untuk menyegarkan tubuhku dengan guyuran air dingin shower.

Setelah kurasa perutku cukup terisi dengan sarapan yang telah disediakan oleh pihak hotel, aku berencana untuk segera check out.

"Ada yang bisa saya bantu, Pak?"

Aku tersenyum hambar merespon sapaan wanita itu dan mengangguk. "Kamar 506," ucapku sambil menyodorkan card key di tanganku. Dan ia segera menyambutnya. "Kalau boleh saya tahu, pemesanan dan pembayaran atas nama siapa?"

"Sebentar."

Dan aku hanya terdiam sambil melihatnya membuka beberapa buku.

"Atas nama Ibu Sherryl Anastasya, Pak."

Seketika kalimat itu membuat semua bulu kudukku berdiri meremang. Sherryl? Dan tanpa sempat berpikir lagi, mulutku pun mengeluarkan pertanyaan lainnya. "Kapan dia pulang?"

Resepsionis wanita itu memintaku untuk menunggu lagi ketika aku selesai dengan pertanyaanku. Ia bergegas menghampiri seorang rekan kerja prianya yang tampak sibuk di belakangnya. Tak lama kemudian, pria itu menghampiriku. Ia tersenyum ramah.

"Apa dia juga turut menginap?" tanyaku khawatir.

"Tidak, Pak. Tak lama dari mengantar Bapak ke atas Ibu Sherryl langsung pulang. Ibu Sherryl mungkin cuma sekitar setengah jam di kamar sebelum pulang." jawabnya. "Saya ingat benar karena saya juga turut mengantar Bapak ke atas."

Aku mengangguk muram. Untunglah dia langsung pulang. Aku tak habis pikir seandainya ia turut menginap. Aku tak ingin terjadi kesalahpahaman antara aku dan Alex. Dan selain itu, berani sekali dia.

Sembari menahan kesal karena kelancangan Sherryl akhirnya aku pun pulang ke rumah. Sepanjang perjalanan dapat kurasakan perasaanku yang penuh emosi. Aku benar-benar tak ingin berdekatan dengan wanita itu. Seakan sensorku sudah bersiaga dan mengatakan bahwa ia bukanlah wanita yang pantas untuk didekati.

MORE THAN A MIRACLE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang