Bukan soal minta maafnya kenapa mimpi burukku pergi. Tapi karena aku menyadari apa yang mengganjal di kepalaku. Aku berdamai dengan logika bebalku yang mengatakan itu bukan salahku.
Gilang belum bisa melupakan apa yang dikatakan Arina pagi kemarin. Ia yakin masalah Arina dan apa yang dirasakan Gilang jelas sangat berbeda, namun entah kenapa setelah mendengarkan apa yang diceritakan manajernya itu, sedikit membuat Gilang merasa lebih baik.
Dan sepertinya pengaruh Arina pada dirinya terasa sangat kuat. Ini aneh karena Gilang nyaris tidak pernah menganggap kehadiran perempuan itu istimewa. Tapi di sinilah, Gilang merasa tidak bisa mengendalikan hatinya. Seolah tanpa seijin hatinya, pandangan matanya selalu mengikuti kemana pun manajernya itu pergi.
Saat ini syuting tengah berlangsung, tapi rasanya sungguh ia ingin secepatnya membuat waktu lekas berlalu. Tadinya ia menganggap rasa tidak nyaman berada bersama para aktor/aktris lain dan kru film itu karena kondisinya yang tidak terlalu sehat. Tapi ternyata bukan begitu, ia hanya gelisah jika tidak melihat sosok Arina dalam jangkauan matanya.
Ke mana cewek itu?
Tanpa sadar ia mengedarkan pandangan ke sana kemari, berusaha menemukan sosok perempuan yang mengikat rambutnya dengan ekor kuda dan mengenakan jaket army dan celana khaki pendek.
"Cari siapa?"
Gilang sedikit tersentak tatkala seseorang mengambil tempat duduk di sampingnya. Dilihatnya Arina duduk sembari mengulurkan sekaleng minuman. Gilang mau tidak mau menerima minuman itu dan kembali bersikap tidak peduli. Dan ia sama sekali tidak mau Arina membaca ekspresinya yang beberapa saat lalu khawatir dengan perempuan itu.
"Dari mana saja kamu?" tanya Gilang, galak.
"Saat kamu masih mengambil beberapa adegan, asisten sutradara bilang ke aku, sutradara memutuskan memodifikasi script untuk adeganmu."
"Adegan yang mana?"
"Adegan flash back sebelum tokoh Willy meninggal. Ada di scene nomor 45."
"Kenapa dengan itu?"
"Err... Itu... Mereka tadinya mau adegan Willy dan Karin kemah berdua dibuat lebih real, bukan sekadar montage tanpa dialog. Dan... Mereka mau adegannya ditambahi ciuman."
"Ciuman? Apa-apaan itu? Bukan itu yang mereka bilang saat sebelum syuting," protes Gilang nyaris meremas kaleng minuman kopi itu.
"Karena itulah, asisten sutradara memanggilku. Dia bilang kamu pasti menolak, mereka minta aku membujukmu."
"Hah, kayak itu bisa kamu lakukan saja."
"Apa benar yang mereka bilang? Katanya kamu nggak pernah mau menerima main film jika ada adegan ciumannya."
"Benar."
"Kenapa?"
"Karena ciuman itu jorok," jawab Gilang sekenanya.
Arina tergelak mendengar jawaban Gilang, seolah-olah ungkapan 'ciuman itu jorok' itu nggak cocok diucapkan laki-laki yang menginjak usia dua puluh tahun.
"Kamu harap aku mau percaya sama jawaban begitu? Kamu berlaku sok hebat dan merasa paling terkenal sejagat akting. Tapi terlalu takut beradegan ciuman. Kamu juga nggak kelihatan seperti orang yang hygiene freak. Beberapa kali aku lihat kamarmu berantakan."
"Aku nggak perlu beritahu alasannya. Aku cuma nggak suka ada adegan ciuman," tukas Gilang tidak peduli. Ia tidak mau berdebat.
"Apa... Kamu trauma sama ciuman?"
"Kapan kamu berhenti menghubung - hubungkan pilihan hidupku dengan trauma? Kenapa ada orang bodoh yang trauma sama ciuman?"
"Kalau begitu, jangan-jangan kamu lebih suka melakukan ciuman sama selain sama pere..."
![](https://img.wattpad.com/cover/96107765-288-k731210.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Miss Manager (Tamat Di KK)
Chick-LitPengorbanan demi cinta tidak selalu berujung manis. Arina menyesal telah memberikan semuanya untuk Jody, pacar yang dicintainya. Di hari ulangtahun pacarnya, Arina mendapati kenyataan bahwa Jody pergi dengan membawa semua uang Arina yang harusnya di...