34. A Painfully Lovesick

1.2K 147 7
                                    

Gilang duduk bersandar di ranjangnya, yang anehnya Arina tidak pernah sadar kapan ia tidur di ranjang laki-laki itu. Napas Arina tercekat dan tak sadar menatap pemuda itu dengan sorot mata cemas yang membuatnya amat takut. Dengan cepat ia bangkit bermaksud pergi, tapi Gilang bertindak lebih cepat dengan menarik lengan Arina dan menghempaskan tubuh Arina di atas ranjang dengan keras. Arina terbaring dengan tubuhnya tak bisa bergerak karena Gilang mengunci posisinya dengan mencengkeram erat kedua lengannya dan menindih tubuhnya.

“Lepaskan!” seru Arina yang berusaha berontak. Dalam hati ia memaki kebodohannya sendiri karena tidak menyadari di mana ia tidur.

“Aku lepaskan kalau kamu mau jelaskan ada apa kamu dengan penelepon itu. Kamu menyebut namaku dalam percakapan kalian, bukankah itu artinya aku berhak tahu? Apa ini yang kamu sembunyikan dariku selama ini?” Gilang masih memegangi kedua lengan Arina kuat-kuat. Dan sorot mata laki-laki begitu menghunjam batinnya. Membuat ketahanan Arina semakin tipis di antara isak tangis yang seperti terdesak keluar tanpa sanggup dibendung.

Arina memalingkan wajahnya, berusaha menyembunyikan perasaannya dari tatapan Gilang. “Tidak ada apa-apa. Jangan hanya karena aku menyebut namamu, lalu mengira kamu itu orang yang penting. Tidak ada maksud apa-apa. Itu cuma orang iseng.”

“Kamu bohong. Kalau tidak penting kenapa kamu melempar ponselmu dan marah seperti itu? Dia yang membuatmu jadi begini kan? Dia... Jody kan?”

Satu pertanyaan itu membuat Arina bungkam dan nyaris melukai bibirnya karena terlalu keras menggigit bibir bawahnya.

“Dia melakukan apa sama kamu? Kenapa kamu minta dia nggak melibatkan aku? Apa dia mengancammu?”

Arina masih tidak menjawab dan memejamkan matanya saking ini terlalu sulit untuk dihadapi. Ia berharap bisa mendorong Gilang menjauh, tapi sayangnya tenaganya tidak cukup kuat untuk melepaskan diri dari Gilang.

“Itu... bukan urusanmu,” ucap Arina lirih, masih tidak berani menatap mata Gilang.

“Kamu melakukan ini karena peduli dengan image-ku? Jadi ini maksudmu dengan janji kamu nggak akan mencemarkan nama baikku? Karena itu kamu memperlakukan aku seolah aku nggak perlu tahu apa-apa? Hah, kamu benar-benar melakukan tugas yang baik sekali sebagai manajer.”

“Aku memang manajermu,” pekik Arina, mengambil kesempatan untuk melepaskan tangannya, tapi sekali lagi tidak berhasil.

“Kamu memang manajerku, tapi kamu pun lebih dari itu, bodoh. Karena itu beritahu aku, apa yang Jody lakukan ke kamu!”

“Ini bukan sesuatu yang menyenangkan.”

“Menyenangkan? Sejak aku melihat Joe melamarmu malam itu, aku sudah lupa caranya menghadapi berita yang menyenangkan. Apa bedanya sekarang?”

“Ini akan melukai image-mu, Gilang... please jangan paksa aku.”

“Persetan dengan image. Aku lebih peduli padamu. Apa kamu nggak tahu bagaimana perasaanku selama berhari-hari ini? Aku nggak ingin mengabaikanmu ataupun menghindari kamu, tapi kamu sangat keras kepala. Aku ingin bertemu kamu tapi aku melarang diriku sendiri untuk melihat wajahmu. Kamu tahu bagaimana rasanya?”

Aku tahu rasanya, aku sangat tahu bagaimana sesaknya karena kamu mengabaikan aku.

Ingin rasanya Arina menjeritkan kalimat itu, tapi kembali lagi ia hanya bisa menggigit bibirnya sendiri.

“Apa karena hubungan kita hanya artis dan manajer, sehingga kamu memilih untuk tutup mulut seperti ini?”

“Kita memang cuma artis dan manajer. Kamu pikir apa? Hanya karena kamu sekali pernah menciumku nggak berarti kamu berhak tahu semuanya.”

Dear Miss Manager (Tamat Di KK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang