31 :: Kado terakhir untuk bunda

169 5 0
                                    

Jam weker usangku masih menunjukkan pukul tiga pagi. Namun seperti biasa aku terbangun untuk salat tahajud. Aku segera bangkit dari tempat tidur untuk mengambil air wudu. Seusai salat aku pergi ke belakang untuk mengambil air minum. Saat itu ku lihat bunda sedang sibuk membuat kue. Semenjak ayah meninggal bunda banting tulang mencari uang demi mencari sesuap nasi, ini telah berlangsung hampir dua tahun. Biasanya bunda menjajakkan kuenya dengan cara berkeliling kampung dan sebagian aku bawa untuk dijual di sekolah. Lumayan hasilnya cukup untuk memenuhi kebutuhan kami.

"Bun, tumben hari ini bikin kue lebih banyak dari biasanya?" tanyaku sambil menuangkan air.
"Eh.. kamu sudah bangun Nak, iya nih soalnya kemarin ada tetangga yang pesen. Lumayanlah buat tambah-tambah." jelas bunda.
"Alhamdulillah ya Bun." ucapku. Bunda hanya menjawab dengan anggukan disertai dengan senyum khasnya.
"Aku perhatiin akhir-akhir ini Bunda kelihatan pucat, Bunda nggak apa-apa kan? tanyaku cemas dengan menempelkan punggung tanganku di kening bunda.
"Bunda nggak kenapa-kenapa Aninda sayang, mungkin cuma kecapean dikit." jawab bunda sambil memelukku.
"Maaf ya Bun." kalimat itu spontan keluar dari mulutku.

"Maaf untuk apa sayang?" Tanya bunda.
"Karena aku nggak bisa ngebahagiain Bunda." jawabku dengan air mata yang menetes di pipi.
"Siapa bilang kamu nggak bisa bahagiain Bunda, buktinya kamu selalu membuat Bunda bangga dengan prestasi-prestasi kamu. Udah ah masa pagi-pagi gini udah nangis, anak kesayangan Bunda kan kuat nggak cengeng begini." hibur bunda sambil mengusap air mataku.
"Ya udah Bun.. aku ke kamar dulu mau belajar buat persiapan Olimpiade."
"Iya udah cepet sana nanti ke buru siang lagi." Aku pun masuk ke kamar untuk mempersiapkan diri menghadapi Olimpiade Kimia yang tinggal menghitung hari. Setelah selesai berpakaian aku segera menuju meja makan untuk sarapan. Seperti biasa bunda telah menyiapkan telur mata sapi, menu favoritku.

"Nak, olimpiade jadinya tangga berapa?" Tanya bunda sambil menyiapkan kue-kue yang akan ku bawa ke sekolah.
"Seminggu lagi Bun, aku makin grogi takut ngecewain pihak sekolah juga takut ngecawain Bunda." jawabku.
"Sayang Bunda yakin kamu pasti bisa, karena Bunda tahu kamu telah berusaha semaksimal mungkin." tutur bunda dengan penuh kasih.
"Amiiiiinnn ya Allah.. Bunda kelihatannya masih pucat gimana kalau sekarang ke dokter aja, aku bisa izin kok masuk agak siang." tanyaku cemas.
"Bunda nggak kenapa-kenapa kok, istirahat sebentar aja pasti sembuh." jawab bunda berusaha meyakinkanku.
"Ya udah, tapi Bunda istirahat ya? aku berangkat sekolah dulu. Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam."

Aku biasa pergi sekolah dengan menaiki sepeda sayur, yang ku beli dengan uangku sendiri. Setibanya di sekolah seperti biasa aku telah disambut oleh sahabatku Nisa.
"Pagi Aninda!! tumben siang ke sekolahnya?" Tanya Nisa.
"Iya nih, soalnya Bunda lagi sakit aku ajak ke Rumah Sakit tapi nggak mau." jawabku panjang lebar.
"Ya ampuunn ada-ada aja Nin, semoga Bunda kamu cepet sembuh. Oya tadi kamu dipanggil sama Bu Diana, mungkin bimbingan lagi Nin,"

"Aku langsung nemuin Bu Diana deh, tapi kue-kuenya kan belum disimpan ke kantin."
"Udah deh urusan itu serahin ke aku, biar aku yang antar ke kantin." ujar Nisa penuh semangat dengan membusungkan dadanya. "Makasih Nisa cayaaaaangggg!" Ucapku sambil mencubit pipinya. Aku pun segera berlari menghindari balasan dari Nisa yang sudah melotot. Waktu terasa bergulir semakin cepat, hari-hariku selalu diisi dengan persiapan Olimpiade yang tinggal satu hari lagi. Namun pikiranku sedikit terganggu karena kondisi bunda yang makin hari makin pucat.

Di sore hari aku duduk di teras rumah, tahu-tahu bunda sudah duduk di sampingku.
"Aninda sayang.. Bunda sayaaaaaangg banget sama kamu Nak. Kamu adalah harta Bunda yang paling berharga. Bunda ingin selalu ada di samping kamu melihat kamu tumbuh dewasa, melihat kamu menikah." ucap bunda sambil mengelus kepalaku penuh kasih sayang. Aku kaget dan nggak mengerti kenapa bunda bicara seperti itu. Dan itu membuatku semakin takut. "Bun.. kenapa Bunda bicara seperti itu? Bunda akan selalu ada di sampingku. Bunda pasti bisa melihat aku tumbuh dewasa dan menikah." tak terasa air mataku menetes.
"Bunda juga nggak tahu kenapa bisa bicara seperti ini seperti ini. Besok pelaksanaan olimpiade kan sayang?"
"Iya.. doain ya Bun, semoga aku bisa memberikan yang terbaik. Pokoknya kalau aku jadi juara, trofinya khusus ku berikan sebagai kado untuk Bunda." ucapku penuh semangat.
"Amiinn.. Bunda selalu mendoakan yang terbaik untukmu sayang." jawab bunda sambil memelukku.

INDONESIA MEMBACATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang