8 :: Harapan yang terkabul

328 8 0
                                    

Kupakai seragam sekolah dengan nametag Azizah, gesper, dasi, topi, dengan kaos kaki putih serta sepatu hitam. Tak lupa untuk menguncir rambut, aku pun bergegas pergi ke sekolah.

Kuhentakkan kaki dengan tegasnya untuk melangkah ke sekolah. Sepanjang jalan, kulihat langit biru menyapa dengan ramah, burung-burung juga berkicau sangat indah serta matahari yang mulai menampakkan dirinya. Oh, sungguh indah duniaku.

Setiba di halte bus, aku menunggu angkutan umum, dengan penuh harap angkot yang kutunggu datang. Badanku yang gemuk membuat diriku sulit menaiki angkot tersebut. Tetapi aku tetap bersyukur memiliki badan sehat seperti yang kumiliki saat ini. Di perjalanan, angkot yang kunaiki menginjak kubangan air, hal tersebut membuat rok abu-abuku basah sebagian.

Sesampai di sekolah, aku bersikap biasa saja seperti tidak ada masalah. Ya.. Hari ini aku biasa saja, tak ada satupun yang membuatku cemas, dulu aku mencemaskan hari seperti ini. Hari dimana rapor dibagikan serta orangtua datang ke sekolah untuk menerima hasil belajar selama 6 bulan kemarin dan orangtua mendengarkan penjelasan dari wali kelas. Kemudian murid akan dipanggil oleh wali kelas dan diberitahu apa saja yang harus diperbaiki. Agak menyeramkan jika dibayangkan.

Tetapi sejak bulan Juni tahun lalu, perasaan cemasku akan pembagian rapor sempurna sudah hilang. Aku persis sekali mengetahui mengapa demikian. Kekecewaanku yang sangat besar saat melihat pengumuman di papan tulis tidak tertuliskan namaku di sana. Seketika hati menjadi kelabu, langit juga kelabu, mulut juga tak bisa berkata apa-apa. Sungguh kecewa hatiku saat melihatnya. Harapanku bagai pecah berkeping-keping, retak di semua bagian, ia terbang dengan kosongnya meninggalkanku pergi jauh. Hatiku semakin kelabu ketika temanku bertanya.

“Zah, bagaimana rapornya?” tegas Zidna.

“Biasa saja Na” seruku.

“Ah, kamu bercanda ya” gurau Zidna tidak percaya. Saat itu Zidna memang belum melihat tulisan yang ada di papan tulis.

“Enggak Na, aku serius”

“Bohong ah bohong”

“Serius Na” kataku sambil melengkungkan bibir ke atas.

Aku memang senang bergurau, tapi untuk masalah ini, aku sedang tidak ingin bergurau. Selepas berbicara dengan Zidna, aku segera pulang ke rumah bersama Ayah. Di perjalanan Ayahku tidak marah kepadaku, ia tetap menyemangatiku agar aku selalu berusaha berikan yang terbaik.

Walaupun untuk rapor kali ini, nilaiku turun.

Setiba di rumah, aku hanya mengurung diri di kamar, menatap layar gadget, kemudian aku bercerita hal ini kepada teman SMP ku dulu.

“Ah, sudah tidak apa-apa Zah, nilai bukan segalanya. Nilai di rapor memang penting tetapi nilai kejujuran dalam kau mengukir rapor, itu jauh lebih penting Na. Orang pintar di Indonesia sudah banyak Na, namun hanya sedikit yang memiliki kejujuran.

Dari ceritamu, aku paham betul usahamu sudah maksimal, dan kamu tidak usah bersedih seperti ini.” sahut Zulfa, sahabatku.

“Iya, kamu betul Fa. Tetapi aku kecewa mengapa aku tidak bisa mempertahankan apa yang aku dapatkan kemarin.” kataku

“Aku mengerti apa yang kamu rasakan Zah, kau sejak kecil selalu juara kelas, namun untuk pembagian rapor kali ini kau bukanlah bintangnya.

Jika aku berada di posisimu, aku pasti merasakan pedih sepertimu. Tapi sudahlah Na, tidak baik kau sedih berkepanjangan.

Lebih baik kita membahas hal lain saja, mungkin lebih menyenangkan dan tidak membuatmu sedih lagi.”

“Oke, aku tidak akan bersedih lagi. Janji. Mari kita bermain” seruku dengan tersenyum.

Benar kata Zulfa, bahwa nilai bukan segalanya namun nilai kejujuranlah yang sangat terpenting. Lagipula, aku sudah bekerja keras untuk raporku itu. Jadi aku tidak usah merasa sangat kecewa seperti ini.

Kuputuskan untuk mengubur harapanku dalam-dalam.

Namun hari ini, harapan kosong yang kupendam itu seakan hadir lagi, menyapaku dengan ramah, memeluk kembali sangat erat. Ketika aku membuat nomor urut, dari arah berlawanan Zidna teriak-teriak memanggil namaku.

“Zizaaah… Zizahhh”

“Ada apa sih Na?” sambil membuat nomor urut

“Coba sekarang liat papan tulis zizahh”

“Iya nanti aku lihat setelah membuat nomor urut”

Betapa mengejutkannya ketika membaca tulisan di papan tulis. Melihat namaku tertera di papan tulis, aku kembali menjadi bintangnya lagi, dan aku juga membuat senyum di bibir kedua orangtuaku.

Mataku berkaca-kaca, hari ini bagai sebuah keajaiban.

Benih-benih harapan itu muncul lagi secara tanpa aku sadari, rambutku yang panjang, sedang dibelai-belai oleh temanku. Lantas saat aku tersadar, ia mengucapkan selamat kepadaku, tertegun ku mendengarnya. Sungguh luar biasa, hal yang tidak kubayangkan lagi, hal yang sudah kukubur dalam-dalam, kini ia kembali menggenggamku erat-erat, mencoba memberikan amanahnya kepadaku serta menjadi tamparan bagiku yang merasa pesimis dan putus asa. Memang benar, bahwa proses tidak akan pernah mengkhianati hasilnya. Ikuti prosesnya, nikmati hasilnya. Jika prosesnya benar maka hasilnya juga benar.

      Cerpen Karangan: Afifah
♡♡♡ VOTE DAN COMMENT ♡♡♡

INDONESIA MEMBACATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang