39 :: Rinai Hujan

208 4 0
                                    


Rasa rindu membawaku ke tempat ini, ya rumahmu, rumah ternyamanmu. Sama seperti biasanya, menaburkan mawar segar agar rumahmu tetap tampak indah. Tak lupa kukirim doa untukmu yang kini bahagia di sisi-Nya. Entah kenapa, aku suka di sini berlama-lama, memandangi nisan indah bertuliskan "Senja Ari Pratama". Dulu kita sering menghabiskan senja bersama, karena kita sama-sama lahir saat senja. Namun semenjak kamu pergi, aku hanya bisa menghabiskan senjaku seorang diri.

Serbuan titik air kini mulai mendominasi, aku masih enggan berdiri. Kamu ingat Ri? Dulu kamu selalu memarahiku saat aku enggan menepi dari rinai hujan ini. Aah, terlalu banyak kisah kita jika harus diulas satu per satu. Kurasakan keteduhan sesaat, aneh, padahal hujan ini mulai lebat.

"air hujan akan membuatmu flu, dan membuaat kepalamu pusing. Dia pasti sedih jika kamu terus menerus terguyur air hujan di rumah ternyamannya." Suara itu memecah lamunku, seseorang dengan pakaian serba hitam, dengan kaca mata hitam pula. Siapa dia, untuk apa dia ke sini? Aku meninggalkannya yang kini mulai mematung menatapku.

Sejak kepergian Ari tiga bulan lalu aku lebih sering menyendiri, karena tak ada kegiatan yang menyibukanku selain karawitan dan eksrakurikuler nembang, ya, aku sangat suka sesuatu yang berbau seni. Kurasakan seseorang menarik tanganku, menuntunku menepi ke taman sekolah.
"apaan lagi tuh Sun? makanan sama juice dari Rama lagi ya?"
Aku mengangguk, menjawab pertanyaan Ana.
"jangan-jangan dia suka sama kamu Sun."
"biarin aja lah An, mungkin dia baik ke aku Cuma buat nebus kesalahannya dulu pada Ari."
"ah ya udah lah, eh iya kamu tau belum. Ada anak baru mirip banget sama Ari, namanya juga mirip..."
"udah lah An, aku mau sarapan, kadang kamu kalo ngomong suka ngawur."
Belum sempat Ana menyelesaikannya aku lebih memilih berlalu, pada akhirnya dia mengikutiku.

Rinai hujan membasahiku lagi, kepenatan sehari ini serasa ikut mengalir bersamanya. Kutengadahkan kepalaku, seakan menantang mereka yang mulai menyerbu.
"heran, kenapa sih suka banget sama hujan?" Suara itu tiba-tiba muncul bersama keteduhan payung putih, aku menurunkan kepalaku. Beberapa kali aku mengusap mataku. Aku tak percaya dengan apa yang kulihat.
"Arii?" rintihku pelan.
Dia membimbingku menepi, duduk di kursi panjang koridor yang mulai sepi. Dia meraih saputangan dan jaket hitam dari tasnya. Dia meninggalkan tasnya lalu berlalu dari hadapanku. Dan tiba-tiba kembali lagi dengan dua cup good day coffee carrebian hangat. Dia menatapku lekat, lalu menggelengkan kepala.
"ternyata bener ya, kamu itu manja. Maaf sebelumnya."
Aku masih mematung saat dia tiba-tiba menghapus air hujan yang membasahi wajahku sambil memasangkan jaket hitam itu.
"nih diminum, carrebian anget kesukaan kamu."
"kamu sebenernya siapa? Kenapa kamu..."
"kamu pasti kaget ya, kenalin aku Senja Arif Pratama, saudara kembar dari Senja Ari Pratama."
Aku menyambut uluran tangannya.
"empat bulan lalu, kami bertemu setelah sekian tahun berpisah. Bunda dan Ayah juga sudah lama berpisah, dan aku ikut Ayah ke Jakarta."
"terus gimana kamu tiba-tiba bisa tau aku? Dan minuman kesukaan aku?"
"Ari cerita banyak soal kamu, terutama soal kamu yang suka hujan. Dan pertemuan pertama kita juga pas hujan kemarin."
"maaf aku kemarin ninggalin kamu."
Dia tersenyum ke arahku, hampir sama seperti senyuman Ari.

Sejak sore itu aku dan Arif jadi sering bertemu, aku seperti menemukan Ari lagi pada Arif, bukan hanya karena fisiknya tapi soal perhatian dan tingkah lakunya. Entah apa maksudnya ini, kutemukan sehelai kertas bertuliskan lapangan basket di depan pintu kelasku. Kuayunkan kakiku perlahan, berharap kan kutemukan sesuatu. Mataku terbelalak, saat kujumpai beberapa buah si bundar orange membentuk sebuah lingkaran di tengah lapangan. Aku mendekatinya, mencoba mencari tahu pekerjaan siapa ini?
"Sunny, will you be my girlfriend?"
Sontak aku membalikkan tubuhku, kutangkap seseorang tengah berlutut di hadapanku dengan setangkai mawar merah dan sebatang coklat. Aku meraih tangannya, aku tak suka dia berlutut seperti itu.
"jadi gimana Sun, mau nggak?"
Srukkk..
Kutemukan bucket bunga di depan pintu masuk lapangan basket yang dikelilingi pagar dengan susunan kawat ini. Akankah dia Arif? Aku memacu kakiku sekuat tenaga, namun nihil aku tak mendapatkannya.

Sabtu, hari yang cukup indah menurutku, hari pendek dimana esok hari libur. Aku menghentikan kakiku yang terbungkus sepatu merah jambu. "Arif!!"
Layaknya orang pada umumnya dia berhenti lalu menengok ke arahku.
"ada apa kak Sun?"
"seharian ini aku belum lihat kamu, kamu nggak ke kantin hari ini? Tadi pagi berangkat jam berapa kok nggak ketemu juga?"
"maaf kak Sun, aku sibuk, aku permisi ya."
"kamu kok jadi dingin gini Rif sama aku? Oh iya aku punya dua tiket pagelaran seni jawa, kamu mau nggak dateng sama aku?"
"tapi besok siang aku ada manggung kak, maaf ya."
"kan ini acaranya sore, aku kan bisa ikut kamu manggung dulu. Eh ya ampun maaf aku maksa banget, ya udah kalo gak bisa gak papa kok. Aku duluan ya, maaf ganggu."
Aku membalikkan badanku, kenapa Arif menjadi seperti ini? Kenapa juga hatiku berkecamuk seperti ini. Akankah?
"kak Sunny.."
Jantungku berdegup tanpa komando, aku menghentikan langkahku, mungkinkah dia yang memanggilku? Dia meraih tanganku. "kak Sun, aku mau. Besok pagi aku jemput jam 10."

Kukenakan poloshirt putih dengan rambut ekor kuda dan kaki terbungkus sepatu merah jambu. Tampil sporty untuk pertama kalinya menyaksikan aksi panggungnya. Kubukakan pintu saat kudengar suara motor besarnya, dia mulai menyapa Ibuku yang kini sudah tak asing lagi dengannya. Ditengah kemacetan yang melanda, dia menegapkan tubuhnya yang sedari tadi membungkuk akibat bentuk motornya.
"Kak Sun, Pacar kakak nggak papa nih kita pergi bareng?"
"pacar? Kalau aku punya pacar aku nggak mungkin sekarang ada di sini sama kamu Rif."
Kutangkap tawanya dari kaca spion, dia membungkukkan badannya kembali setelah memegang kakiku beberapa detik. Sama sepertimu Rif, aku juga merasakan betapa bahagianya.

Kunikmati alunan gitar dan kemerduan suaranya pagi ini, di sini kutemukan keistimewaan tersendiri Ari dan Arif. Entah apa yang kini kurasakan, kekaguman hebat yang kini mendominasi hatiku. Dia turun dengan raut bahagia, motor besarnya kini mengangkut kita ke acara pagelaran budaya dan sebuah pameran. Jantungku berdegup makin kencang saat kurasakan dia memasukkan jari-jarinya ke sela jariku. Apa ini? Hatiku makin berkecamuk saat ia memakaikan tusuk konde sinden ke rambut ekor kudaku. Arif, kenapa kamu selalu tahu apa yang kusuka?

Kringgg...
Kusentuh layar ponselku, kudapati sebuah berita bahwa Arif terkunci di lapangan basket. Aku tak pikir panjang, aku berlari ke sekolah yang tak jauh dari rumahku, mengenakan baju seadanya dengan rambut ekor kuda. Bahkan aku tak menyangka bahwa ini tak masuk akal. Aahhh.. kurasakan mataku gelap tak Nampak apa-apa. Siapa ini?

"aku tahu ku tak kan bisa, menjadi seperti yang engkau minta, namun selama nafas berhembus aku kan mencoba, aku tau dia yang bisa menjadi seperti yang engkau minta, namun selama aku bernyawa aku kan mencoba menjadi seperti yang kau minta.."
Mataku berkaca-kaca, ini lagu terakhir yang Ari nyanyikan sebelum akhirnya ia berpulang. Arif kini di hadapanku, dia menarikku masuk ke dalam lingkaran si bulat orange dan beberapa lilin di ujung senja ini. Dia tersenyum lalu menyibak poniku. Kemudian meraih tanganku.
"maaf kak Sun, sebenernya yang di lapangan basket sore itu..."
"iya aku udah tau Rif, Rama emang keterlaluan, ngelakuin itu."
"kak, waktu itu Ari titip pesen sama aku. Aku ditugasin untuk jaga kamu. Tapi entah kenapa aku pengen lebih dari menjagamu, aku pengen jaga hatimu juga. Aku tresno awakmu Sunny, opo awakmu gelem dadi pacarku?"
Aku tertawa geli menatapnya, mendengarnya mengucapkan bahasa jawa dengan logat sedikit berbeda.
"aku nggak akan maksa kak, aku juga nggak akan ngegeser posisi Ari dari hati kamu. Dan aku bakalan sayang sama kamu, sama atau bahkan lebih dari Ari."
Aku mengangguk dan melontarkan senyumku. Sementara dia tertawa kegirangan mendengarnya. Rinai hujan menutup senja ini, untuk pertama kalinya Arif suka hujan, dan ikut menikmati hujan bersamaku dengan iringan api lilin yang mulai padam.

Kusentuh lembut nisan itu lagi, masih dengan taburan bunga segar. Kali ini aku datang tak sendiri, ya, bersama dia, sepotong jiwa dari dia yang telah tiada.
"gue udah nepatin janji bro, gue jagain Sunny lu, plus gue jagain hatinya seperti lo jagain dia, dan gue nggak akan biarin dia lecet sedikitpun. Baik-baik di sana brother. Kita sayang lu."

Terima kasih rinai hujan, kau satukan aku dan dia. Tenang disana Ri, makasih udah ngirim Arif sebagai guardian angel buat aku setelah kamu. We love you so much Ri.

Cerpen Karangan: Sindi Novitasari

♡♡♡ Vote dan Comment ♡♡♡

INDONESIA MEMBACATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang