Di pagi yang cerah ini aku kembali disambut dengan gelagat lucu kedua sahabatku, Ardi dan Adnin. Lelucon yang konyol namun asyik.
"Nis, Nissa ada Kak Azka. Swear, keren banget." Cetus Adnin dihadapanku.
"Ya." Ucapku singkat.
"Kesana yuk!"
"Hmm, nggak usah, kamua aja! Biar aku disini sama Ardi."
"Okay." Ucap Adnin sambil berlalu.
Aku terdiam terpaku memandangi Adnin. Kalau boleh jujur, aku cemburu melihatnya. Aku tak mampu membohongi hati kecilku. Sejak aku kelas X sampai sekarang kelas XI hampir satu setengah tahun aku memendam rasa. Kenapa aku tak setegas Adnin untuk mampu mengungkap isi hatinya.
Tak apalah, aku mencob ikhlas. Bagiku Adnin adalah sahabat yang sempurna segalanya. Tak ingin aku menumpahkan kebencian padanya. Nin, Adnin.
Tak tahu Adnin dan Ardi kemana? Akhirnya aku terpaksa berangkat sekolah sendiri dengan motor yang selalu setia kepadaku.
Kakiku melangkah memasuki ruang kelasku. Mataku terkejutkan dengan adanya amplop merah jambu di ats mejaku. Kubuka perlahan amplop itu. Kemudian aku baca dengan pelan.
Rasaku...
Ketika sang mentari mulai memudar
Bulan perlahan muncul dengan gelisah
Pasang mataku...
Sayup-sayup terbias bayangmu
Melupakanku akan rintangan yang ada
Rasaku...
Rasa ini...
Entah apa dan mengapa
Aku tak mampu menghapus sosokmu
Sekalipun hanya sekejap
Aku benar-benar tak mampu
Rasaku...
Kucoba hapus rinai kegundahan
Dari hidupku yang hampir kelam
Menanti cintamu yang tak kunjung datang
Malah mungki kau menghilang
Menjauh dariku yang tak sepadan
Sepenggal puisi tanpa nama jelas itu aku terima. Kubacanya berulang-ulang. Karena jujur, aku tak paham betul makna dari puisi tersebut.
Aku tinggalkan bait-bait yang mendayu-dayu tersebut. Palingan juga orang iseng. Yang lebay dan hanya ingin lihat aku GR. Oh, itu nggak akan pernah terjadi.
"Nis, apa itu?" Ucap Adnin yang tiba-tiba nongol.
"Eh, Nin. Tau ini ada yang iseng."
"Coba aku lihat." Ucapnya sambil mengabil surat tersebut. Dibacanya sekilas. "Hm, oke juga."
"Apanya yang oke?"
"Puisinya. Siapa yang ngirim?"
"Itu yang jadi tanda Tanya. Tapi udahlah biarin aja. Nggak peduli aku."
"Punya fans rahasia kok nggak peduli sih?"
"Bikin jengkel aja."
Tiba-tiba bel berbunyi dengan kerasnya. Aku kembali duduk di kursiku. Kemudian aku mulai pelajaran.
Keesokan harinya hal yang sama terjadi lagi. Amplop merah jambu itu mendarat lagi di mejaku. Aku jadi semakin penasaran. Kubuka dan kubaca bait-bait yang amat lebay itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
INDONESIA MEMBACA
Ficção GeralCerita ini dikemas dari berbagai sumber motivasi inspiratif dan berbagai kisah bijak kehidupan dengan makna yang dalam dan luar biasa untuk pembaca, cerita ini dapat sebagai renungan kehidupan yang bisa menjadi bacaan untuk memotivasi dan menginsp...