11. Ketidak sengajaan

243 45 1
                                    


Tepukan penonton sangat riuh terdengar ketika sepasang anak manusia yang siapa lagi kalau bukan Rasha dan Ray menyeleseikan tampilannya. Mereka berdua langsung menuju ke belakang panggung. Disana sudah di sambut dari teman-teman kelasnya dengan riuh semangat.

Rasha sangat terkejut melihat mereka semua. Sedangkan Ray hanya memasang tampang datarnya seperti biasa.

Bobby dengan kamera yang menggelantung di lehernya menghampiri kedua anak manusia itu. Laki-laki bergigi kelinci itu langsung menunjukkan beberapa gambar yang dia ambil sewaktu mereka berdua tampil. Kameranya yang tadi ia kalungkan dia ambil dan di tunjukkanya kearah Rasha.

"Gimana? Keren kan? Bobi gitu. Pasti hasilnya bagus-bagus kalo gue yang fotoin"

Bobi menaik turunkan kedua alisnya dan menyombongkan dirinya. Rasha mendengus pelan dan menatap dengan raut datar.

"Biasa aja. Tapi thanks" ucap Rasha singkat, padat, dan jelas.

Kali ini Bobi yang mendengus. Laki-laki itu mengalungkan kameranya kembali dan menatap sinis kearah Rasha. Jika berhadapan dengan gadis itu memang butuh kesabaran.

"Sabar Bobby sabar" gumam anak itu.

"Untung lo perempuan. Kalo ngga udah gue tampol tuh pipi. Greget gue sama lo. Tapi tenang Bobby yang ganteng ini udah maafin lo kok. Mengenai ucapan yang sungguh membuat hati abang Bobi ini sedikit terguncang"

"Lebay" cibir Ray melirik Bobi dan melangkah melewati anak itu.

"Iya gue tau, gue ganteng iya. Thanks pujianya!" Teriak Bobi tidak tahu malu. Rasha yang sudah jengah di hadapan Bobi langsung pergi meninggalkan anak itu dan lebih memilih bergabung dengan yang lain. Meninggalkan laki-laki bergigi kelinci itu yang sedang menggerutu tidak jelas.

Sedangkan Ray memilih untuk menjauh dari sekumpulan anak-anak kelas.

Pemuda itu mengikuti langkah kakinya entah kemana. Dengan raut datarnya dan kedua tanganya dimasukkan ke saku celananya. Dibelakang pungguhnya terdapat gitarnya yang ia gendong lengkap dengan tasnya.

Ray menghela nafasnya. Dia berhenti dan tau-tau dia sudah berada di taman belakang sekolah. Pemuda itu menghela nafasnya lagi sebelum dia memilih untuk tiduran di kursi panjang yang terdapat disana. Gitarnya dia taruh di bawah kursi. Suasana di taman belakang nampak sepi dan memang hanya dia yang berada disana. Hingga mudah membuat Ray tertidur. Ditemani dengan semilir angin yang segar.

.
.
.

Selepas penampilan adiknya selesai, Rafif berjalan menjauh dari kerumunan siswa disana dengan kedua tangannya yang terkepal kuat. Lalu, dia nampak mengetik sesuatu di layar hpnya sebelum dia terlalu pergi menghilang dari balik koridor.

Dia terlihat menuju ke kantin dan menghampiri seseorang. Alan dan Drian. Mereka berdua terlihat duduk berdua dengan makanan dihadapan mereka. Rafif mengambil kursi yang kosong untuk di duduki dan bergabung dengan mereka. Tangan kanannya mengambil segelas es teh tanpa minta izin terlebih dahulu. Dia langsung meneguk hingga sisah setengah.

Drian melotot tak percaya. Rafif baru saja mengambil es tehnya dan meminumnya hingga setengah. Membuat anak laki-laki itu mencebik.

"Lo jangan asal ambil dong nyet!" Protes Drian tak terima. Anak itu langsung merebut gelas tersebut dan menjauhkannya dari Rafif.

"Mana sisa setengah lagi, ganti woy!" Cibir Drian sambil melihat kearah gelasnya sebentar. Lalu menatap tajam ke arah Rafif.

Namun yang di tatap tidak perduli dan masa bodo. Hati dan perasaannya sedang panas. Dan Rafif butuh pendingin hati dan perasaannya itu.

Alan yang sejak awal diam kali ini memandang Rafif dengan penuh selidik. Tanpa berpikir panjang pun dia sudah tahu apa yang terjadi kepada sahabatnya itu.

"Lagi?" tanya Alan tiba-tiba membuat Rafif langsung menoleh kearahnya dan seolah menjawab dengan tatapan matanya. Alan sudah mengerti dan dugaannya benar. Drian yang tidak tahu apa-apa menatap Alan dan Rafif secara bergantian.

"Ada apa emang?" tanya Drian yang memang tidak menau apa yang terjadi sebenarnya.

"Eh lo kan tadi habis nonton si Rasha ya kan?" tanya Drian lagi kali ini hanya memastikan.

Tidak ada sahutan dari Rafif membuat Drian mencibir pelan.

"Ini rasanya ketika kita ada tetapi oleh doi di anggap ngga ada. Pedih banget" cibir Drian pelan mendramanisir keadaan.

"Ngga usah di tanya lagi kali, dia emang habis nonton" sahut Alan membantu menjawab.

Rafif masih berdiam diri dan berkali-kali dia menghela nafas seperti orang yang sedang putus asa. Membuat Alan dan Drian hanya memandang satu sama lain dan tidak tahu harus bagaimana menyikapi kondisi Rafif sekarang ini.

Namun kemudian___

"Ayo ikut gue" titah Alan tiba-tiba kepada Rafif.

.

.

Alan masih menelusuri koridor yang di ikuti oleh Rafif yang berada di sampingnya. Yang membuat Rafif risih adalah tangannya Alan yang masih menggandeng tangannya. Ah, anak itu tidak berpikir bahwa pasti akan ada perasangka buruk dari mereka yang melihat dua anak laki-laki bergandengan tangan. Apalagi suasana koridor sangat ramai karena memang masih dalam waktu istirahat.

Rafif mencoba melepaskan cengkraman tangan tersebut.

"Heh, lepasin dulu tangan gue. Lo ngga liat tatapan mereka ke kita heh?" Rafif berbisik pada Alan.

"Lagian lo kayak narik anak perempuan aja nyet!" gerutu Rafif.

Alan menghela nafasnya kasar dan langsung melepaskan cengkraman tangannya dari Rafif. Kedua anak laki-laki itu kini berjalan berdampingan dengan tautan tangan yang sudah terlepas.

"Tinggal bilang aja sih, kita ke taman belakang, kenapa coba pake nyeret gue segala tadi"

"Bawel ya lo"

Memang benar, bahwa Alan mengajak Rafif ke taman belakang. Selain disana tempatnya sepi, memang juga tempat mereka jika membicarakan sesuatu hal yang sangat penting.

"Sekarang lo bisa cerita sama gue" ujar Alan yang to the point.

Rafif menghela nafasnya dan dia langsung bercerita mengenai apa yang dirasakannya. Apalagi ini mengenai tentang adiknya. Dia bercerita tanpa ragu pada Alan.

"Hati gue agak panas tau ngga sih" Rafif mulai bercerita.

"Gue selalu nyesel kenapa gue punya perasaan ini ke adik gue sendiri. Gue suka sama adik gue sendiri, Lan. Dosa banget kan gue?? Gue harus kaya gimana lagi ngilangin perasaan ini??" Setelah mengatakan unek-uneknya dia menghela nafasnya kasar. Tangannya mengusap rambutnya kasar hingga rambutnya agak sedikit berantakan.

Alan sebagai sahabat laki-laki itu pun merasa iba. Rafif belum bisa ngilangin perasaan itu terhadap adiknya.

"Iya.. gue tau lo suka sama adik lo sendiri. Gue harap ada cara yang bisa bikin lo mudah ngilangin perasaan lo itu, Raf" ucap Alan.

"Gue bingung, Lan. Gue merasa berdosa banget. Waktu dia njauhin gue aja, gue uring-uringan. Kayaknya susah deh ngilangin perasaan ini" lagi dan lagi Rafif menghela nafasnya.

Alan yang berada di hadapan Rafif ikut menghela nafas. Tangannya kanannya memegang bahu pemuda itu.

"Berharap aja, pasti ada cara yang ampuh buat lo, Raf. Gue bantu pikirin"

Setelah Alan mengucapkan itu, suasana menjadi hening seketika.

"Ayo balik, nanti monyet satu nyariin. Bentar lagi kita tampil loh"lanjut Alan. Lalu mereka pun beranjak pergi dari sana karena sudah terlalu lama mereka meninggalkan Drian di kantin sendirian.

Beberapa detik kemudian, seseorang terbangun dari posisi tidurnya. Dan menatap lulus ke depan dengan tatapan mata yang sulit di artikan.

To be continued

ADIKKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang