26. Lo bukan kakak gue

255 32 2
                                    

Sudah setengah hari ini waktu Rasha dihabiskan dengan Ray dan ponakannya. Semakin siang, taman kota semakin ramai di kunjungi orang. Banyak kedai-kedai berada di pinggiran taman yang berdiri disana demi meraih keuntungan. Jika bukan weekend, dihari-hari biasa lumayan ramai. Namun, ramai dengan anak sekolah yang mampir-mampir sebentar, atau hanya sekedar beli jajanan disana.

Niyel sekarang ini sangat rewel, mungkin juga terik matahari yang semakin panas dan juga lalu lalang ora yang ramai dan bising. Membuat bayi berusia satu tahun itu menangis dan meronta-ronta. Alhasil Ray dan Rasha pulang dari taman.

Sesampai di rumah, rupanya ayah dan ibunya dia sudah pulang dari kerjaanya. Terdapat mobil yang terparkir di halaman. Niyel sudah ngga rewel lagi.

"Ray, orangtua lo udah pulang ya?" tanya Rasha. Karena dia pasti benar jika mobil yang terparkir di halaman adalah milik orangtuanya Ray. Rasha jadi agak gugup. Entah kenapa tiba-tiba dia merasa seperti itu. Apa mungkin mau ketemu sama orangtuanya Ray dia jadi seperti ini? Entahlah.

"Iya, tumben sekali lagi pulang lebih awal. Biasanya bada' ashar mereka baru pulang. Kenapa memangnya?"

Rasha menggeleng pelan,

"Ngga papa, cuma nanya aja. Lagian gue belum pernah ketemu sama orangtua lo, hehehe"

Ray yang mendengar itu mengangguk paham. Memang benar setiap Rasha kesini kan ayah dan bundanya sedang bekerja di kantor.

"Ya udah, yuk masuk" ajak Ray. Gadis itu mengangguk samar dan memasuki rumah cowok itu dengan mendorong Niyel yang terdapat di kereta bayi.

Kedatangan mereka berdua di sambut oleh Liana, ibunya Ray. Ray langsung salim kepada Liana. Begitu pun dengan Rasha. Terlihat di raut Liana, dia bingung siapa gadis yang sedang bersama dengan putra semata wayangnya. Terlebih baru pertama kali putranya mengajak seorang perempuan kesini. Karena dia tahu bagiaman putranya itu dan dia hafal. Anak itu tertutup pada siapapun, namun kali ini dia melihat sisi yang berbeda dari putranya.

"Cantik sekali. Dia siapa, Ray? Kok bunda baru melihatnya" Liana bertanya pada putranya. Ray sedikit kikuk.

"Teman sekolah Ray, Bun. Dia teman sebangku Ray. Namanya Rasha. Bukan pertama kok dia kesini, minggu-minggu yang lalu dia juga pernah kesini. Saat itu Ray repot jaga Niyel. Alhasil Ray minta bantuan sama dia" jelas Ray agar bundanya paham.

"Oalah, cantik sekali kamu. Rasha ya namanya. Namanya juga cantik kaya orangnya. Bunda baru ngeh nama kalian depanya sama-sama huruf 'R' jangan-jangan kalian berjodoh lagi" setelah mengucapkan itu Liana terkekeh kecil.

Entag mengapa suasana menjadi panas bagi Rasha. Mungkin karena ucapan Lianaa membuat gadis itu agak malu sedikit dan gugup juga.

"M-makasih tante. Tante juga cantik kok, hehehe" ujar Rasha tersenyum kikuk.

"Cantik gimana? Orang udah keriput begini di bilang cantik. Ada-ada saja kamu, Sha. Sini Niyel sama tante aja" Rasha mengutas senyumnya.  Sekarang Niyel berada di gendongan Liana.

"Ayah mana, Bun?" tanya Ray pada Liana.

"Di atas, lagi di kamarnya. Paling lagi istirahat" jawab Liana. Putranya mengangguk pelan. Lalu dia beralih menatap Rasha yang sedari tadi diam dan hanya menyimak saja.

"Duduk, Sha. Mau minum apa?" perintah Ray. Rasha tertegun. Dia langsung menoleh kearah Ray.

"Gue mau pulang aja. Nanti kakak gue ngomelin kalo gue pulang sore" jawabnya seadanya. Cowok itu mengangguk. Lalu, Liana yang tadi sibuk mengajak bermain Niyel bergabung dengan obrolan kedua anak remaja itu.

"Kok buru-buru? Masih jam 1 siang. Makan siang dulu yuk, bi Sumi lagi siapin makanan tuh. Eh iya Ray, kamu beli sate ya. Tau aja mama lagi kepengin sate" ujar Liana.

"Eh iya ma, beli tadi pagi. Ray beli sate di saat yang pas dong ini" timpal Ray sedikit mengembangkan senyumnya.

Sedangkan Rasha sedikit tersenyum tipis melihat interaksi antara Ray dan ibunya. Namun dia juga teringat akan keinginannya untuk pulang. Dia ngga mau lagi jika harus di marahin kakaknya hingga dia ribut dengan kakaknya sendiri.

"Ngga tante. Saya udah di tunggu kakak saya di rumah" ujar Rasha setelah ucapanya terjeda oleh Ray tadi.

"Oh gitu yah, padahal tante ingin kamu makan dulu disini. Baru nanti kamu bisa pulang" ujar Liana sedikit merasa kecewa.

"Bunda, Ray udah bawa dia setengah hari ini. Kasihan. Ray anter pulang aja sekarang. Ray pamit dulu mau nganterin Rasha, Bun" timpal Ray.

"Saya pamit tante. Assalamu'alaikum" ucap Rasha berpamitan kepada Liana. Liana tersenyum dan mengangguk. Dia terlebih dahulu membenarkan posisi Niyel dalam dalam gendongannya.

"Iya, wa'alaikumussalam. Kalian hati-hati di jalan. Ray kamu jangan ngebut loh. Kami kan bawa anak gadis"

Ray berdecak. Bundanya ini selalu saja seperti itu.

"Iya, Bun. Ray juga paham kok" sahutnya kemudian.

.
.

"Ray makasih" Rasha menyerahkan helm yang di pakainya kepada cowok itu. Ray sudah sampai mengantarkan Rasha menuju rumahnya. Cowok itu mengangguk dan tersenyum tipis.

"Sama-sama. Gue langsung pulang. Salam aja buat kakak lo dan bunda lo" setelah mengucapkan itu Ray menyalakan kembali motor sportnya. Dan kemudian dia melajukan motornya ke jalanan.

Sedangkan Rasha, dia berjalan menuju rumah. Rumahnya terlihat seperti ada tamu. Dia baru teringat, ada motornya Alan yang terparkir di halaman. Dia tak begitu memikirkan. Dengan pelan dia masuk ke dalam rumah.

"Bagus lah kalo ngga ada dia" yang dimaksud 'Dia' oleh Rasha disini adalah siapa lagi kalau bukan Drian. Dia menghela nafas lega.

Sayup-sayup obrolan terdengar begitu jelas oleh kedua telinga Rasha. Begitu terdengar serius. Rasha menjadi ingin tahu apa yang mereka bicarakan. Dia melangkahkan kakinya pelan.

"Btw, gimana soal perasaan lo sama Rasha? Masih sama?" itu suara Alan yang terdengar jelas oleh Rasha.

"Gue rasa dengan cara gue ndeketin dia sama Ray, bisa ngilangin perasaan gue ini. Sebenernya gue masih cinta sama dia. Agak ngga rela juga liat mereka berduaan begitu. Tapi gue harus ngelakuin. Gimana pun juga perasaan ini harus gue ilangin. Gue kakak kandungnya masa iya gue cinta sama dia bukan sebagai adik, namun cewek pada umumnya. Merasa dosa banget gue" Rasha yang mendengar itu terkejut sekali. Dia hafal dengan suara itu. Benar kalau suara itu adalah suara kakaknya sendiri. Dan mengenai ucapan tadi Rasha masih terkejut dan tidak menyangka.

Rasa kecewa dan marah pun mulai menjalar di hati gadis itu. Rasha melangkah cepat menghampiri mereka berdua. Air matanya sudah menetes. Dia merasa hina punya kakak seperti dia.

"Bagus sekali. Anda ternyata seperti itu. Saya kecewa sama anda dan benci sama anda!" teriak Rasha dengan nada emosi.

Rafif dan Alan terkejut melihat kedatangan Rasha yang tiba-tiba dan juga sangat emosi sekali.

"Acha kenapa? Kok marah gitu sama kakak?" Rafif bingung kenapa adiknya seperti itu pada dirinya. Rupanya dia belum tau kalau Rasha sudah mendengar semuanya.

"Lo yang kenapa??! Kenapa lo kaya gitu ??! Ngga nyangka banget gue bisa denger kalimat jijik itu. Lo bukan kakak gue lagi!" setelah mengucapkan itu, Rasha menuju lantai atas dengan berlari. Dia merasa kecewa dan marah dengan kakaknya.

"Raf.. kayaknya adik lo udah denger semuanya" ujar Alan memelan.

Rafif tertunduk lesu.

"Lo pantes benci gue, dek" gumam Rafif.



To be continued

ADIKKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang