5. Lima

189 33 2
                                    

"Gue pingin pergi sekolah, Bim. Gue bosen home schooling," ujar Trisha. Tatapan matanya memelas saat melihat raut wajah Bima yang kaku karena menahan amarah.

Sungguh, Trisha tahu apa penyebab sahabatnya ini menampakkan muka sekaku itu kepadanya, tapi ia akan tetap meminta agar Bima mengizinkannya bersekolah di sekolahnya.

Bima, lelaki itu menatap datar mata Trisha. Dalam pancaranya ia bisa melihat sorot kebosanan pada diri gadis itu. Namun, ia juga tidak dapat mengabulkan permintaanya jika Trisha menginginkan untuk pergi ke sekolah. Dirinya tidak mau mengambil resiko terlalu jauh.

"Tetap berada dalam zona nyaman lo aja." Suara Bima memelan. "Kehidupan di luar sana nggak semudah dalam cerita fiksi."

Trisha mendengus setiap kali Bima mengucapkan kata-kata yang sama untuk menahannya tetap berada pada zona nyamannya sekarang. "Ada kalanya seseorang harus keluar dari zona nyaman, setidaknya untuk mencari tau siapa dirinya, apa yang dapat ia lakukan, dan apa yang menjadikan alasannya untuk tetap bertahan hidup."

Tatapan mata Bima tidak lagi terfokus pada Trisha. Ia hanya menatap kosong sembari memikirkan apa yang baru saja sahabatnya itu katakan. Baginya, gadis itu akan aman jika terus berada dalam lingkaran kehidupannya. Terus berada di dalam garis pertahanan. Karna ia tidak tau apa yang akan terjadi jika gadis itu mendobrak benteng pertahanan yang ia bangun sedemikian rupa.

"Jadiin gue alasan untuk tetap hidup, jika itu yang lo kuatirkan."

"Bim," gumam Trisha tanpa sadar.

"Gue nggak mau lo terancam, Sha. Lo kelemahan gue," ucap Bima mengurung Trish dalam dua rentangan tanganya yang memegangi kedua pundak gadis itu.

"Kenapa lo selalu bilang kalo gue adalah kelemahan lo?" Pertanyaan itu terdengar serius setelah Bima melepaskan kedua cekalan tangannya di pundak Trisha.

Lama, dibiarkannya detik jam berlalu, bukan karna Bima tidak mau mengatakannya dengan cepat. Namun ini adalah pertanyaan serius yang tidak bisa dijadikan untuk bermain-main, meskipun lelaki itu sudah memberikan jawabannya berulang kali.

"Karna gue cinta sama lo," ujar Bima mantap. "Dan gue akan selalu mengingatkan itu kalo lo ragu."

Trisha tersenyum untuk kesekian kalinya saat mendengar Bima mengucapkan kata itu. Namun, ia tetap tidak mengatakan apapun untuk membalas ucapan Bima selain. "Ya, aku tau itu," jawab Trisha diiringi senyum termanisnya.

Bima tersenyum geli, matanya menatap jail kearah Trisha. "Biasanya dalam cerita fiksi setelah ini akan ada dua orang lawan jenis yang saling berciuman." Bima mengatakan itu dengan alis yang dinaik-turunkan.

"Mati aja lo," sahut Trisha sembari melemparkan bantal owl nya ke arah Bima.

Bima tersenyum, namun senyum itu lenyap saat ia menyadari handphonenya berdering. Dengan cepat lelaki itu mengangkat telponnya saat ia melihat sebuah nama tertera di sana.

"Halo?" tanya Bima, jelas sekali ia tidak bisa menyembunyikan kekhawatiran. Pasalnya nama yang sekarang berada di sana tidak pernah menghubunginya jika bukan hal yang penting.

"Gue takut," ujar suara di sebrang telpon.

"Lo di mana?" tanya Bima.

"Di gudang belakang sekolah."

Bima langsung saja mematikan telpon. Lelaki itu meraih tas yang berada di meja belajar Trisha, dengan cepat ia melangkah. Namun langkahnya terhenti saat Trisha mencekal tangannya.

"Mau kemana?" tanya Trisha heran. Saat ini sahabatnya itu menampakkan tatapan khawatir sebuah ekspresi yang berbalik 180 derajat hanya dalam waktu satu menit, dan Trisha tahu ada sesuatu yang terjadi.

"Ntar gue hubungi lo lagi," jawab Bima. Lelaki itu berusaha untuk melepaskan cekalan Trisha dengan halus, namun gadis itu malah memeluk Bima erat.

"Jangan tinggalin gue sekarang," ujar Trisha, entah mengapa hatinya mengatakan bahwa saat ini Bima tidak boleh pergi darinya, ia takut jika ada sesuatu yang mampu mengalihkan perhatian Bima darinya.

"Gue mohon," pinta Trisha.

Hilang sudah semua pertahanan Bima, lelaki itu membiarkan Trisha mencegahnya untuk pergi. Ia tak bisa meninggalkan gadis yang saat ini memeluknya meskipun ada orang yang membutuhkannya saat ini.

"Kenapa lo nangis," ujar Bima pelan saat dirasakannya Trisha sesenggukan.

Trisha menggeleng, kepalanya masih bersandar pada punggung Bima. "Gue ngerasa ada yang lebih penting dari gue."

Bima tidak menjawab, lelaki itu hanya memejamkan matanya, membiarkan Trisha terus menangis.

=== Delusi Waktu ===

Andin memeluk lututnya, ia masih terkurung di dalam gudang setelah pertengkaran kecil dengan anak-anak gadis di sekolahnya. Ia tidak mengerti mengapa semua yang menghampirinya tadi menuntut hanya karena ia dekat dengan Kenzie.

Padahal, semua yang Kenzie lakukan tadi pagi hanyalah gurauan semata untuk mengusir semua gadis yang mengikutinya. Namun tampaknya bukan itu maksud yang ditangkap gadis yang mendengarnya.

Andin bisa saja keluar dari gudang kalo saja keadaan di sekitarnya tidak gelap, sungguh ia sangat takut jika berada di ruang tertutup dengan cahaya yang tak ada. Membuat semua keberaniannya hilang hanya karena berada di tempat gelap.

Entah sudah berapa lama ia berada di dalam sana hingga ia mendengar gedoran dari luar pintu. Andin hanya diam karena ia pun tak dapat meresponnya. Hingga dobrakan keras dapat membuka pintu, gadis itu hanya menatap orang yang kini berlari ke arahnya tanpa menanggapi sedikitpun.

"Ndin," ujar Kenzie menggoyang tubuh Andin yang menatapnya kosong.

"Pergi," lirih Andin.

"Gue anter lo pulang," balas Kenzie.

Andin menggeleng mendengar itu, ia tidak mau pulang dengan orang yang secara tidak langsung menyebabkan dirinya terkurung di gudang. Namun penolakan yang ia berikan tidak mampu membuat Kenzie pergi. Lelaki itu malah mengangkat Andin dalam gendongannya.

Mata yang sedari tadi menatap kosong itu kini terpejam saat sinar matahari memasuki matanya, gadis itu tanpa sadar menyembunyikan kepalanya pada dada bidang Kenzie dengan dua tangan yang memeluk leher lelaki itu.

"Gue bilang, jangan sentuh dia." Suara itu menghentikan langkah Kenzie. Dengan pelan diturunkannya Andin dari gendongannya, lelaki itu beralih merangkul Andin mencoba untuk menopang tubuh yang masih limbung.

"Kalo gue nggak nyentuh dia, dia bisa mati di dalam sana nungguin lo," jawab Kenzie.

Bima tidak merespon, lelaki itu mengambil alih Andin dan menggendongnya menjauh dari Kenzie. Mengerti bahwa Bima tidak menanggapinya membuat Kenzie menelpon seseorang yang baru saja difikirkannya saat ia melihat Bima berada di depannya.

"Sha, lo di mana?" tanya Kenzie.

"Di rumah."

"Bima tadi ke sana?"

"Iya, tapi dia pulang, nyokapnya sakit katanya."

Mendengar itu membuat Kenzie menatap jejak Bima yang sudah menghilang dari pandangannya. Sepenting itukah Andin di mata Bima? Lalu bagaimana dengan Trisha?

=== Delusi Waktu ===

2 Juli 2017

Delusi WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang