12. Dua Belas

124 25 1
                                    

"Kalo lo belum bisa kembali ke zona nyaman lo, gue juga nggak bisa kembali kayak dulu lagi," final Bima sebelum meninggalkan Trisha dengan segala pertanyaan terpendam.

"Harus lo bilang gitu ke Trisha?"

Pertanyaan itu menghentikan Bima yang baru saja keluar dari UKS. Lelaki itu menoleh, ia menemukan Kenzie yang sedang bersedekap menatap ke arahnya.

"Gue nggak dituntut untuk jawab pertanyaan lo, kan?" tanya Bima.

Kenzie menggeleng, lelaki itu menepuk pundak Bima. "Satu kesalahan tidak bisa menghancurkan persahabatan," ujar Kenzie.

"Sayangnya, lo bukan satu kesalahan, tapi lo itu biang dari semua kesalahan yang terjadi selama ini," balas Bima tajam.

Kenzie sudah mengepalkan sepuluh jarinya, ia tidak terima dengan balasan Bima. Namun, Trisha sudah menggenggam tanganya, membuat Kenzie segera menetralkan emosinya.

"Dia hanya mengikuti apa yang menjadi alur ceritanya," ujar Trisha menatap Bima serius, membuat lelaki itu berdecak sebelum akhirnya pergi.

***

"Hujan," gumam Trisha. Tatapannya menembus kaca mobil, ia tersenyum sumringah seakan hari ini adalah pertama kalinya ia menyaksikan hujan.

Melihat itu membuat Kenzie menatapnya bingung. "Lo belum pernah liat hujan?" tanya Kenzie.

Trisha menggeleng, gadis itu menampakkan mimik lucu saat kepalanya menoleh ke arah Kenzie, membuat Kenzie semakin menggerutkan keningnya.

"Gue selalu suka hujan, tapi gue belum pernah nyentuh air hujan."

Kata-kata itu membuat Kenzie heran. Dalam rentang waktu 17 tahun, mustahil bagi diri Trisha jika ia belum pernah menyentuh hujan. Fenomena alam yang membawa sederet kenangan bagi siapa saja yang mengalami suatu kejadian, sebuah kesenangan yang tersembunyi dibalik derasnya hujan.

"Kata Bima, hujan itu jahat, dia bisa membunuh kalo gue nyentuh."

Kenzie menaikan satu alisnya mendengar itu. Bima, kenapa nama itu selalu saja terucap ketika Trisha belum pernah melakukan suatu hal yang wajar? Apa yang membuat Bima sebegitu gencarnya menahan Trisha sedemikian rupa? Haruskah ia mendobrak segala benteng yang di bangun Bima untuk menyembunyikan Trisha dari kehidupan normal?

"Hujan itu nggak jahat," ujar Kenzie. "Dia itu guru terbaik dalam kehidupan."

Trisha menoleh, kali ini mimik lucu tergantikan raut bingung. Gadis itu menatap Kenzie dalam, seakan menuntut penjelasan.

"Coba lo perhatikan." Kenzie menunjuk ke arah luar mobil yang baru saja ia hentikan.

"Air hujan selalu jatuh ke bawah," ujar Kenzie. "Pernah lo berfikir kenapa hujan nggak berhenti aja kalo pada akhirnya dia muncul dengan terjatuh?"

"Karena hujan mengerti meskipun ia datang dengan terjatuh ke bumi, namun ada tumbuhan yang membutuhkan dia, ada tanah yang menantikan kehadirannya untuk kelangsungan hidup manusia."

Trisha terenyum mendengar itu. "Karena hujan nggak pernah menyerah walaupun ia berkali-kali jatuh."

Kenzie mengangguk, tangannya tak sadar mengusap kepala Trisha. "Sekarang apa lo mau nyerah dengan kehidupan lo hanya karena Bima nggak ngizinin itu?"

Trisha menggeleng, gadis itu kembali tersenyum seakan mengerti apa maksud Kenzie.

Kenzie membuka pintu mobilnya, ia berlari ke arah pintu mobil di sebelah Trisha, lelaki itu membukanya dan mengajak Trisha untuk keluar.

"Kenapa?" tanya Kenzie saat Trisha enggan untuk mengikuti jejak Kenzie.

"Gue takut," ujar Trisha.

"Hujan bukan pembunuh," balas Kenzie sekali lagi. "Uluruin tangan lo."

Trisha mengulurkan tangannya, saat itu juga matanya membulat. Ia merasakan cairan dingin menyentuh kulitnya, memberikan sensasi yang selama ini belum pernah ia rasakan. Matanya tanpa sadar terpejam, masih dirasakannya sensasi dingin itu.

Mengerti bahwa Trisha sudah tidak lagi takut kepada hujan, membuat kenzie menariknya pelan agar Trisha turun dari mobilnya. Gadis itu memekik kaget saat seluruh tubuhnya terguyur oleh hujan. Mata yang sedari tadi terpejam kini terbuka dengan mulut yang membulat.

"Ini menakjubkan," lantang Trisha. Membuat Kenzie tanpa sadar tersenyum melihat tingkahnya.

Trisha sudah memutarkan tubuhnya di bawah hujan seakan menari dengan irama yang hanya bisa didengarnya. Gadis itu senang, ini pertama kalinya ia berdiri di bawah hujan.

Kesenangan itu tak berlangsung lama saat Trisha mulai memperlambat pergerakannya, gadis itu menyentuh keningnya. Rasa pusing seketika menjalar ke seluruh bagian kepalanya. Membuat tubuh yang sedari tadi bergerak bebas, berhenti saat itu juga.

Kenzie menangkap tubuh limbung Trisha. Lelaki itu panik ketika melihat gadis yang beberapa menit lalu ditariknya untuk merasakan hujan, kini sudah tak sadarkan diri.

"Wah Ken, anak orang lo apain?" Pertanyaan itu membuat Kenzie menoleh, lelaki itu sudah membopong Trisha.

"Berisik, mending lo bukain pintu mobil gue," ujar Kenzie.

Tak mau berdebat, membuat Andin segera membuka pintu tengah mobil Kenzie.

"Ikut gue, Ndin," ujar Kenzie setelah ia menidurkan Trisha di bangku tengah.

"Kok bisa sih?" tanya Andin ketika ia sudah duduk di samping Kenzie.

Kenzie menggeleng, lelaki itu menghidupkan mesin mobil dan menjalankannya pada laju yang stabil. "Gue cuma ngajak dia hujan-hujanan."

"Iya gue tau," ujar Andin. "Maksud gue, kok bisa sampe dia pinsan, lo masukin obat tidur ya? Lo punya niat jahat?"

Andin mengaduh ketika Kenzie menggetok kepalanya, lelaki itu menatap tajam ke arah Andin seakan menjawab pertanyaannya.

"Kalo iya ngapain gue bawa lo sekarang?"

Andin menepuk keningnya. Ia sadar bahwa saat ini dirinya sedang berada di dalam mobil Kenzie yang melaju. "Ngapain gue ngikut lo?"

***

Andin duduk di kamar Trisha, gadis itu sudah mengganti pakaian Trisha yang basah kuyup. Meskipun ia membenci Trisha namun melihat gadis itu tak berdaya memunculkan rasa kasihan di hatinya, terlebih di rumah Trisha saat ini, tak dilihatnya satu manusia pun selain Trisha.

"Lo bisa tinggal sendiri di rumah segede ini."

Andin tersenyum, ia merasa bahwa apa yang terucap tak dapat terdengar oleh Trisha. Gadis itu masih tenang dalam tidurnya tanpa tahu siapa yang sekarang berada di sampingnya.

"Gue bisa aja bunuh lo, ngebuang lo atau bahkan ngelenyapin lo dari muka bumi." Andin memberi jeda pada kalimatnya. "Tapi sayang, gue nggak bisa jadi orang sejahat itu."

"Gu heran, siapa lo sebenernya?" Andin meletakkan bingkai foto yang sedari tadi di genggamnya. Gadis itu terus mengamati seluruh isi kamar Trisha. Meskipun luas namun Andin dapat merasakan kehampaan yang ada di dalamnya. Seakan semua kemewahan yang terpajang hampir di seluruh sudut ruangan lenyap tak berarti.

"Kenapa Bima berubah hanya karena lo," ucap Andin sekali lagi.

Gadis itu berdiri saat dirasakannya suara langkah kaki mendekat. Ia mengingat bahwa 30 menit yang lalu Kenzie pulang untuk membawa Bima ke sini. Namun entah mengapa, gadis itu memilih untuk bersembunyi tanpa mau menampakkan dirinya di hadapan Bima. Bukan karena ia takut, tapi lebih karena ia ingin melihat sepenting apakah Trisha di mata lelaki itu.

=== Delusi Waktu ===

21 November 2017

Delusi WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang