XIII. Tergamang

1.9K 262 68
                                    

Kamar Syafia tidak dikunci. Ghaz memasuki kamar dengan cahaya temaram itu tanpa kesulitan berarti. Dia melangkah perlahan mendekat pada ranjang dimana gadis belia yang disayangi melebihi saudara itu sedang tidur.

Dalam balutan piyama toska, Syafia tidur nyenyak dalam buaian mimpi. Rambutnya tergerai panjang disingkap ke atas kepala menghiasi bantal hingga ujung kepala ranjang. Sebuah selimut dari bahan beludru membungkus tubuhnya hingga sebatas pinggang.

Ghaz menatap sendu. Dia akan merindukannya, amat sangat merindukannya. Tetapi tekadnya sudah bulat. Dia harus menjauh demi dirinya, demi Syafia, dan demi keluarganya. Semoga suatu hari Syafia mengerti mengapa dia melakukan hal itu.

Disibaknya anak rambut yang menutupi sebagian keningnya. Ia mencondongkan wajah hingga meraka hanya berjarak lima sentimeter.

"Aku mencintaimu, Sya." Bisiknya lembut. "Jika memang kita berjodoh dan kau bersabar menungguku, aku akan kembali untuk menjemputmu sebagai mempelaiku."

Dikecupnya kening gadis yang terlelap dalam buaian mimpi itu. Kemudian dia melangkah menjauh. Menutup pintu kamar itu dalam gerak kebisuan, namun suara pintu tertutup tak terhindari.

Saat itulah mata Syafia terbuka. Instingnya yang tajam membuatnya terbangun dari ranjang kemudian berlari membuka pintu. Namun lorong senyap, tak ada siapapun. Beberapa detik dirinya terdiam mematung. Syafia yakin dirinya merasakan kehadiran Ghaz. Namun dia tak menangkap sosok itu sepanjang mata memandang. Dengan menghela napas panjang dia kembali ke kamarnya.

Sementara itu Ghaz yang bersembunyi di perempatan lorong. Pemuda itu sempat menyesali perbuatannya diam-diam menjenguk Syafia. Insting gadis itu benar-benar tak bisa dipandang sebelah mata. Begitu Syafia kembali melangkah memasuki kamarnya, ia melangkah dengan cepat meninggalkan puri. Ghaz menuju istal dimana Zoro telah dia siapkan sejak semalam.

Istalpun tampak sunyi, para pekerja akan datang ketika matahari mulai menyemburatkan warna jingganya. Dengan bergegas dia mengambil Zoro, berpacu waktu yang semakin sempit.

Kabut masih menyelimuti bumi ketika Ghaz mengetatkan jaket ketika udara pagi mencapai lima derajat celcius. Dia mengendarai Zoro menghalau kabut membelah pekatnya jalan yang hanya diterangi sinar bulan. Dia mengejar kapal subuh yang akan berangkat beberapa menit lagi.

Sengaja dia pergi pagi buta tanpa berpamitan. Ayah tirinya telah memberi tahukan keputusan rapat Ar-Rasyid yang bertolak belakang dengan keinginannya. Dia sudah bertekad, jika dia tak diperbolehkan untuk memilih jalannya sendiri maka dia akan pergi dari keluarganya.

Semalam dia sudah berpamitan dengan ibunya. Awalnya umi Aisyah tak merestui tetapi alasannya yang membuat uminya mengikhlaskan kepergiannya.

"Tapi Ghaz, kau tak perlu berkorban sejauh ini."

"Aku melakukan ini bukan tanpa alasan, umi. Aku harus menemukan Aluna. Kita percaya baby Una masih hidup." Mengusik nama yang tak pernah diperbincangkan kalangan Ar-Rasyid itu membuat uminya syok.

"Unaku sayang, Unaku malang." Airmata Aisyah bergulir membasahi pipinya. Mau tak mau ucapan Ghaz tentang putrinya yang direnggut darinya sembilan tahun yang lalu itu membuat Aisyah terjebak dalam kenangan masa lalu.

"Aku berjanji, Umi. Aku akan menemukannya."

"Sembilan tahun telah berlalu. Aku yakin Una masih hidup, karena hanya jasad abi yang ditemukan. Aku hanya akan kembali setelah menemukan baby Una, itu janjiku sebagai seorang kakak."

Syafia's Beloved 1 : Miss Elegant And Innocent Guy Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang