Satu

30 2 0
                                    

“Kamu sayang sama aku?” aku paling suka tanya kalimat ini kepadanya, walaupun aku sudah tahu jawabannya. Dan aku selalu merasa tenang satiap kali dia menjawabnya pertanyaan rutinku itu. 

“Aku sayaaaaaang banget sama kamu. Kamu cewek yang paling aku sayang di dunia. Kenapa sih suka banget tanya begituan?” dia mengerutkan kening berharap jawaban yang lain keluar dari mulutku. Karena setiap kali ada percakapan seperti ini jawaban yang
kuberikan juga selalu sama.

“Nggak papa, cuma ingin tanya aja,” aku juga selalu memberikan senyuman terlebar setiap selesai mengucapkan kalimat ini.

Aku dan Ali sering datang ke bukit dekat sekolah kami. Dulu bukit ini hanya sekedar bukit yang tiada satupun orang meliriknya. Beberapa tidak sadar bahwa disitu ada sebuah bukit yang indah dan nyaman untuk dikunjungi.
Tetapi sekarang sudah berbeda. Sejak kepala sekolah kami ganti, bukit ini disulap menjadi kantin yang sangat nyaman. Karena kantin di dalam sekolah sangat sempit dan
lahannya kurang.

Saat itu aku sudah kelas 2 SMP. Jadi aku hanya bisa menikmati bukit
kantin itu kurang lebih satu tahun. Kantin itu sangat luas sehingga guru-guru pun juga sering
berkunjung kesana. Meja untuk para guru berbeda dengan meja para murid.

Meja-meja murid dibuat berkelompok-kelompok karena para murid biasanya suka
bergerombol kalau pergi ke kantin. Sedangkan meja guru dibuat memanjang.

“Sebentar lagi ujian,” kataku memulai lagi percakapan.

“Iya, terus kenapa?” tanya Ali sambil menyesap es tehnya.

“Aku belum siap. Temanku semua les dimana-mana. Sedangkan aku hanya belajar di
rumah. Itupun kalau lagi mood belajar. Mama menyuruhku les, tapi aku nggak mau soalnya
tempatnya jauh banget dari rumah.”

“Aku juga nggak les kok. Emm, gimana kalau kita belajar bareng di rumah kamu?
Jadi kamu nggak usah kemana-mana,” Ali menyarankan walaupun kelihatannya dia masih
agak ragu.

“Beneran?” aku tidak percaya Ali menyarankan untuk belajar bersamaku, wahh kita
jadi sering bareng dong. “Tapi kok kamu kayak ragu gitu?”

“Iyalah aku ragu. Aku nggak pintar-pintar banget. Kalau kita sama-sama nggak bisa pecahkan soal, siapa dong yang mau jawab?” katanya sambil tertawa.

“Tapi kita kan masih bisa berbagi ilmu. Kalau ada soal yang nggak bisa kita pecahkan
ya nggak usah kita kerjakan. Besoknya aja tanya ke guru, gimana?” kataku yang sebenarnya hanya alasan. Mana mungkin aku membahas tentang berbagi ilmu.

“Oke deh. Mulai nanti ya?”

“Seep Al,” kataku sambil mengacungkan jempol. Namanya Kevin Ali P. P itu nama papanya, Purnama. Karena dia memanggilku El, jadi aku memanggilnya Al, pdahal namaku Tiara Ellinanda.
Semua temanku memanggilku Tia. Ali satu-satunya yang memangggilku El. Ketika aku tanya mengapa, dia menjawab ‘karena aku suka’. Padahal aku sedikit protes ketika ia memutuskan Al dan El sebagai nama panggilan untuk kami. Karena itu sedikit terdengar seperti kita anaknya om Ahmad Dani.

“Masuk ke kelas yuk, udah bel, “ ajak Ali.
                           
                                  ***

Sepulang sekolah aku teringat harus mampir ke supermarket untuk membeli makanan Ciki, kucingku. Evi teman sebangkuku sekaligus temen pulang kuajak ke supermarket untuk menemaniku. Dan kebetulan dia ingin beli camilan juga.

Sudah dari sejak lama Ali menawariku untuk menjemput dan mengantarku pulang yang terdengar seperti supir bagiku. Tetapi aku menolaknya, karena rumah kami beda jalur. Aku tidak
ingin menyusahkannya. Lagian jarak rumahku dan sekolah lumayan dekat juga.

I Belong to YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang