Enam

5 1 0
                                    

Rangga berhenti di depan toko butik. Apa yang akan dilakukannya di sini? Pikirku dalam hati.

Setelah kami turun, Rangga menarik tanganku dan menuntunku ke tempat yang lain. Ternyata dia tidak masuk ke butik melainkan toko di sebelahnya yag lebih tepatnya adalah warung, warung sate???

“Aku suka sate, kamu?” tanya Rangga.

“Suka, tapi ayam,” jawabku. Aku sudah lama tidak pernah makan sate. Seingatku terakhir kali aku makan makanan ini ketika aku kelas 2 sekolah dasar.

“Aku juga ayam,” tambahnya, lalu memesan 2 porsi sate ayam.

“Jadi kamu ingin ngajak aku kesini?” tanyaku heran. Mau makan aja masih dirahasia-rahasiakan. Lagian di rumah kan banyak makanan.

“Nggak, eh iya sih sebenarnya, tapi ntar kamu pasti tahu,” kata Rangga bingung sendiri.

Setelah pesanan datang, kami langsung melahapnya. Setelah kurasa-rasakan, aku merindukan rasanya sate.

Sudah gelap ketika kita selesai makan. Tapi Rangga tidak segera beranjak untuk pergi dari warung ini. Aku menopang dagu bosan melihat Rangga tengah bermain dengan ponselnya.

Ketika aku mulai ikut-ikutan untuk bermain dengan ponselku sendiri, Rangga akhirnya mengajakku keluar.

Di luar dingin dan aku hanya memakai rok serta baju pendek. Kami benar-benar keluar sampai malam, aku tidak kepikiran seperti itu ketika berangkat tadi. Aku mempererat peganganku padanya, berharap sedikit mengurangi rasa dingin di tubuhku. Rangga sepertinya
merasa kalau aku kedinginan, dia meremas tanganku dan berusaha menghangatkannya.

Rute perjalanan yang kami lalui, aku sangat mengenalinya. Dan benar, kita sudah sampai di tempat tujuan.

Rangga mengajakku ke pasar malam. Pasar ini sering kukunjungi ketika aku masih kecil. Hampir setiap malam aku kesini. Kalau papa sama mama tidak mau mengantarku kesini, aku akan menangis sekencang-kencangnya.

Ketika aku sudah menginjak remaja, mereka tidak pernah menurutiku lagi ke pasar ini. Kata mereka aku sudah besar. Kalau mau kesana jangan mengajak mereka. Tapi siapa lagi yang akan kuajak, karena seingatku tidak ada tetangga yang seumuran denganku dulu.

Aku terkagum-kagum melihat pasar malam yang sudah lama tidak kukunjungi. Banyak yang berubah dari tempat ini. Yang pasti tempat ini tambah megah dan ramai.

“Sebentar ya,” kata Rangga. Kemudian dia meninggalkanku. Aku mengagumi tempat ini dan aku suka sekali disini. Aku heran kenapa Rangga seperti mengetahui tentang apa yang kusukai di masa kecilku dulu.

Aku melihat Rangga kembali membawa sesuatu di tangannya, yang ternyata telinga binatang. Tapi dia hanya membeli satu.

“Ini aku belikan untukmu,” katanya seraya memakaikannya padaku.

“Kenapa cuma satu?” tanyaku kepada Rangga.

“kamu pengen aku makai juga???”

“Kamu harus memakainya!” pintaku, lalu menariknya ke tempat dimana dijual telinga binatang berada. Setelah membeli satu lagi, aku memakaikannya pada Rangga. Dia terlihat sangat lucu memakai itu. Aku tertawa di depannya.

“Oh iya, dingin ya Ya’,” itu pernyataan bukan pertanyaan. Lalu dia melepaskan syalnya dan memakaikannya padaku.

“Makasih Ngga,” kataku sambil membenarkan syal yang sudah dipakaikannya padaku.
Setelah itu kami bersenang-senang keliling pasar malam.

Rangga membelikanku gula-gula, kita juga mengambil banyak foto. Aku senang sekali malam ini, seperti merasakan kembali kecil lagi. Rangga banyak tersenyum dan tertawa walaupun sebentar-bentar dia terserang batuk yang tiba-tiba.

I Belong to YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang